RADARINDONESIANEWS.COM,
JAKARTA - Abdul Kodir anak Bapak Abdul Salam yang kaya raya di masa
Kerajaan Jayakarta. Singkat cerita, Abdul Kodir yang baru berusia 7
tahun sangat suka dengan binatang kucing. Sampai-sampai Abdul Kodir
memelihara hingga 73 ekor binatang kucing dan yang paling didemenin
adalah binatang kucing belang tiga yang udah dikebiri. Konon menurut
orang Betawi, binatang kucing belang tiga yang udah dikebiri sangatlah
sakti.
Begitulah penggalan Hikayat Abdul Kodir yang disampein ama Bang Yahya Andi Saputra tokoh Shohibul Hikayat yang belum lama menerima Anugerah Budaya Kemendikbud RI melalui Dirjen Kebudayaan sebagai pelestari seni budaya tersebut pada kegiatan Revitalisasi Shohibul Hikayat yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI mulai 12 – 17 Oktober 2015 di Gedung Pusat Laboratorium Tari & Kesenian Karawitan Condet, Jl Balai Rakyat No 64 Balekambang, Condet, Jakarta Timur.
Turut hadir Bang Atien Kisang (Praktisi Seni Betawi), Nasir Mupid (Praktisi Seni Betawi), Panitia Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, mahasiswa/I UHAMKA dan pelaku seni lainnya sebagai peserta kegiatan tersebut.
Disela kegiatan Bang Yahya Andi Saputra mengatakan bahwa Shohibul Hikayat adalah seni pelipur lara (Melayu) dan dapat diartikan yaitu Shohib yang artinya Si Tukang/Punya dan Hikayat yang berarti Cerita, jika digabungkan dapat berarti Si Tukang/Punya Cerita.
“Sebagaimana Stand Up Comedy yang sedang booming dan dapat pula kita sebut Hikayat yang disampaikan dan diambil dari Shohibul Hikayat bagian-bagian humornya saja. Atau bias juga dikatan bahwa Stand Up Komedi adalah Shohibul Hikayat Banyolan,” ujarnya.
Namun bila kembali kita berbicara mengenai Shohibul Hikayat lengkap, kita dapat melihat atau pun membaca naskah-naskah Hikayat yang ditulis oleh Muhammad Bakir sekitar tahun 1800-an yang berjumlah 40 Hikayat. Diantara Hikayat tersebut adalah Hikayat Lakon Jaka Sakura, Hikayat Asal Mulanya Wayang, Syair Cerita Wayang, Wayang Atjuna, Hikayat Purusara, Hikayat Seri Rama, serta Hikayat Syekh Abdulkadir Jaelani.
Shohibul Hikayat bisa dikembangkan (eksplorasi) dengan menggunakan nyanyian atau pun pantun dan dengan bahasa “alay” asalkan jangan “lebay” serta mengalir sesuai perkembangan yang ada, fleksibel sesuai kondisi.
“Selain itu, pewarisan Shohibul Hikayat di sekolah harus ada modul dan kurikulum. Namun demikian tidak seluruhnya dapat memadai karena sesuai dengan kemampuan individu penyampai Hikayat tersebut,” imbuhnya. (ms/ziz)
Begitulah penggalan Hikayat Abdul Kodir yang disampein ama Bang Yahya Andi Saputra tokoh Shohibul Hikayat yang belum lama menerima Anugerah Budaya Kemendikbud RI melalui Dirjen Kebudayaan sebagai pelestari seni budaya tersebut pada kegiatan Revitalisasi Shohibul Hikayat yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI mulai 12 – 17 Oktober 2015 di Gedung Pusat Laboratorium Tari & Kesenian Karawitan Condet, Jl Balai Rakyat No 64 Balekambang, Condet, Jakarta Timur.
Turut hadir Bang Atien Kisang (Praktisi Seni Betawi), Nasir Mupid (Praktisi Seni Betawi), Panitia Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, mahasiswa/I UHAMKA dan pelaku seni lainnya sebagai peserta kegiatan tersebut.
Disela kegiatan Bang Yahya Andi Saputra mengatakan bahwa Shohibul Hikayat adalah seni pelipur lara (Melayu) dan dapat diartikan yaitu Shohib yang artinya Si Tukang/Punya dan Hikayat yang berarti Cerita, jika digabungkan dapat berarti Si Tukang/Punya Cerita.
“Sebagaimana Stand Up Comedy yang sedang booming dan dapat pula kita sebut Hikayat yang disampaikan dan diambil dari Shohibul Hikayat bagian-bagian humornya saja. Atau bias juga dikatan bahwa Stand Up Komedi adalah Shohibul Hikayat Banyolan,” ujarnya.
Namun bila kembali kita berbicara mengenai Shohibul Hikayat lengkap, kita dapat melihat atau pun membaca naskah-naskah Hikayat yang ditulis oleh Muhammad Bakir sekitar tahun 1800-an yang berjumlah 40 Hikayat. Diantara Hikayat tersebut adalah Hikayat Lakon Jaka Sakura, Hikayat Asal Mulanya Wayang, Syair Cerita Wayang, Wayang Atjuna, Hikayat Purusara, Hikayat Seri Rama, serta Hikayat Syekh Abdulkadir Jaelani.
Shohibul Hikayat bisa dikembangkan (eksplorasi) dengan menggunakan nyanyian atau pun pantun dan dengan bahasa “alay” asalkan jangan “lebay” serta mengalir sesuai perkembangan yang ada, fleksibel sesuai kondisi.
“Selain itu, pewarisan Shohibul Hikayat di sekolah harus ada modul dan kurikulum. Namun demikian tidak seluruhnya dapat memadai karena sesuai dengan kemampuan individu penyampai Hikayat tersebut,” imbuhnya. (ms/ziz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar