Selasa, 09 Februari 2016

Sastra Lisan Betawi

Sastra Lisan Betawi adalah salah satu khazanah budaya bangsa Indonesia. Untuk itu menjadi kewajiban kita semua untuk membina, mengembangkan, melestarikan, serta memanfaatkan sehingga menjadikan sesuatu yang penuh dengan makna.

Dalam melestarikan budaya, omong kosong bila tanpa diusahakan pengembangannya yang menjadikan budaya tradisi penuh makna karena cerita di dalamnya mengandung dan masing-masing membawa pesan.

Di sinilah dituntut kemampuan seniman dalam mengemas pesan dalam bentuk cerita yang dituturkan, berbeda dengan sastra tulis menyampaikan pesan melalui tulisan. Tinggal bagaimana kemasannya.

Sebagaimana dengan Shohibul Hikayat yang bercirikan nuansa Timur Tengah, ceritanya bisa disisipkan tentang pendidikan, dakwah, dan hiburan asalkan dari cerita satu ke cerita lainnya saling bersambungan. Seperti misalnya cerita Lutung Kasarung bukan Shohibul Hikayat, tetapi cerita Buleng.

beta

Buleng itu sendiri termasuk seni tutur Betawi yang bercerita tentang kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Betawi serta didalamnya disisipi pantun Sunda.

Selain itu ada juga Rancag yang berbentuk pantun/syair berkait, walaupun tidak memakai Gambang Kromong terkecuali Gambang Rancag yang harus diiringi oleh Gambang Kromong.
“Kesemuanya itu adalah “maha karya” para pendahulu seniman Betawi yang memang penuh dengan kreatifitas tersendiri,” (19 Oktober 2015, Rachmat Ruchiat)

Dengan demikian kesenian tradisi warisan para leluhur kalau tidak dikembangkan akan mati, sudah semestilah kesenian tradisi, khususnya seni sastra lisan Betawi ini harus tetap eksis. Pengembangan itu sendiri mempunya dua arti yaitu merubah bentuk/menyempurnakan bentuk sesuai jaman dan menyebarluaskan.

Bukan hanya bentuknya saja, tapi harus disebarluaskan sesuai jamannya asalkan tetap berpegang teguh pada tradisi leluhur, artinya bahwa tidak menghilangkan tradisi yang ada,” (19 Oktober 2015, Rachmat Ruchiat)

Yahya Andi Saputra Tokoh Penerus Shohibul Hikayat 

beta3

Shohibul Hikayat adalah seni pelipur lara (Melayu) dan dapat diartikan yaitu Shohib yang artinya Si Tukang/Punya dan Hikayat yang berarti Cerita, jika digabungkan dapat berarti Si Tukang/Punya Cerita.

“Sebagaimana Stand Up Comedy yang sedang booming dan dapat pula kita sebut Hikayat yang disampaikan dan diambil dari Shohibul Hikayat bagian-bagian humornya saja. Atau bisa juga dikatakan bahwa Stand Up Komedi adalah Shohibul Hikayat Banyolan,” (17 Oktober 2015, Yahya Andi Saputra)

Namun bila kembali kita berbicara mengenai Shohibul Hikayat lengkap, kita dapat melihat atau pun membaca naskah-naskah Hikayat yang ditulis oleh Muhammad Bakir sekitar tahun 1800-an yang berjumlah 40 Hikayat. Diantara Hikayat tersebut adalah Hikayat Lakon Jaka Sakura, Hikayat Asal Mulanya Wayang, Syair Cerita Wayang, Wayang Atjuna, Hikayat Purusara, Hikayat Seri Rama, serta Hikayat Syekh Abdulkadir Jaelani.

Shohibul Hikayat bisa dikembangkan (eksplorasi) dengan menggunakan nyanyian atau pun pantun dan dengan bahasa “alay” asalkan jangan “lebay” serta mengalir sesuai perkembangan yang ada, fleksibel sesuai kondisi.

“Selain itu, pewarisan Shohibul Hikayat di sekolah harus ada modul dan kurikulum. Namun demikian tidak seluruhnya dapat memadai karena sesuai dengan kemampuan individu penyampai Hikayat tersebut,” (17 Oktober 2015, Yahya Andi Saputra)

Dalam kebudayaan Indonesia kita mengenal beberapa folklore yang sudah mendarah daging dan menjadi ciri khas budaya di tanah air. Folklore adalah budaya yang terus berkembang di dalam masyarakat diantaranya : Folklore Dance, Folklore Musik, Folklore Teater. Folklore yang jarang sekali kita temui pada masa kini yaitu sastra lisan atau teater tutur yang menjadi cikal bakal dari kesusastraan bahasa Indonesia.

Sebagaimana sastra lisan atau teater tutur Betawi yang menyuguhkan tontonan menjadi tuntunan, diantaranya : Buleng, Shohibul Hikayat, Gambang Rancag, Jantuk. Dan sastra lisan atau teater tutur Betawi tersebut sudah jarang ditampilkan atau hilang tergerus kemajuan jaman.

“Oleh karena itu mari kita semua bersama untuk terus menggali dan berupaya membina, mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan sastra lisan tersebut. Sebab seni sastra lisan Betawi dapat menjadi alternatif profesi dan juga bisa bermanfaat untuk wadah berbagi ilmu dan berbagi kebaikan,” (17 Oktober 2015, Atien Kisam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar