Sabtu, 28 Mei 2016

TOPENG BLANTEK DI KAMPUNG BETAWI

(STUDI KASUS : SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG) 
 
SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008 KONSENTRASI ASIA TENGGARA PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M.
 
A.           Pertunjukan Seni Topeng Blantek
Didalam pertnjukan terdapat tiga fungsi walapun sering bercampur dan tidak jelas batas-batasnya, diantaranya ; Fungsi pertama dari seni pertunjukan adalah ritual atau upacara. Dari zaman yunani purba hingga kini pada teater-teater pertunjukan etnis (daerah) di Indonesia dan berbagai bangsa lain, fungsi ritual teater tampak menonjol. Penghayatan dan pengukuhan nilai-nilai kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat yang melaksanakannya. Fungsi kedua adalah seni atau estetik. Didalam teater pertunjukan seni masyrakat bukan saja mengungkapkan apa yang di lihat, pikiran, perasaan, harapan, dan sebagainya, akan tetapi juga menikmati bentuk-bentuk ungkapan yang mereka gunakan. Fungsi ketiga adalah hiburan dalam hubungan ini teater pertunjukan memenuhi keperluan masyarakat akan pengalaman yang berbeda dengan pemgalaman sehari-hari bahkan kadang-kadang memenuhi keperluan bagi masyarakat yang ingin melepaskan diri dari persoalan kehidupan mereka. Contoh teater dalam fungsi hiburan banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari baik dari jenis teater etnis maupun teater baru yaitu lenong, topeng, ataupun ludruk dan sebagainya.[1]
Seni Topeng Blantek ini, merupakan pertunjukan rakyat yang terdiri dari unsur nyanyi, tari, musik(gamelan), lelucon, dan cerita sandiwara. Berbeda dengan sejenis  sandiwara rakyat yang terkenal juga di Jakarta yaitu lenong. Perbedaan itu antara lain ditandai oleh tempat bermainnya. Lenong dipertunjukan diatas panggung, sedangkan Topeng Blantek berlangsung di tanah lapangan biasa. Pertunjukan yang dilakukan seperti Topeng Blantek, mungkin disesuaikan dengan keperluan seni itu sendiri. Sebab, pada Topeng Blantek, hubungan antara pemain dan penonton terjadi lebih erat. Sering kali ada kesempatan-kesempatan yang mungkin penonton ikut dalam percakapan para pemain. Bahkan bukanlah suatu yang tidak mungkin, jika pada tarian yang dilakukan pemain, ada penonton yang masuk lingkungan permainan. Pemain dan penonton yang senang, dapat berinteraksi sehingga terlihat hubungan yang erat antara penonton dan pemain.[2]
Topeng Blantek memiliki unsur-unsur dalam pertunjukannya, unsur-unsur tersebut terdapat pakem-pakem pertunjukan Topeng Blantek yang selama ini digunakan oleh seniman Topeng Blantek. Unsur-unsur pertunjukan Topeng Blantek antara lain :
1.             Cerita
Cerita yang dibawakan bersumber dari sastra lisan bahwa, “Banyak kita temukan sastra lisan di teater Indonesia, yang sering disebut sebagai sastra lisan daerah. Hampir di setiap daerah (kelompok etnik) dapat kita temukan sastra lisan daerah yang ciri utamanya adalah bahasa daerah,”[3]
Cerita Topeng Blantek pada umumnya merupakan cerita-cerita legenda masyarakat betawi, tapi saat ini tidak hanya cerita-cerita legenda saja yang dimainkan dan ceritanya bisa mengenai apa saja yang penting terdapat unsur hiburan, penerangan, pendidikan dan dakwah. Unsur-unsur cerita Topeng Blantek antara lain : a.) Cerita dari pertunjukan Topeng Blantek tidak memiliki naskah yang tertulis. Seiring perkembangan zaman, kini cerita pertunjukan Topeng Blantek menggunakan naskah tertulis yang berisi plot-plot adegan alur cerita sebagai patokan para panjak (pemain). ada pula yang sudah menggunakan naskah tertulis dengan dialog yang rapih tetapi biasanya pemain Topeng Blantek tidak terbiasa untuk mengikuti dialog atau kata- kata yang tertulis di dalam naskah tersebut, mereka lebih terbiasa dengan improvisasi dari cerita foklore (cerita rakyat turun-temurun). b.) Cerita yang dilakonkan adalah cerita legenda masyarakat betawi. Legenda Si Pitung, Si Jampang, Si Jantuk, dll. c.) Cerita yang dilakonkan bisa cerita apa saja yang penting ada tokoh jantuk sebagai narator atau dalang. Bahkan, cerita teater modern pun sudah sangat sering dilakonkan dengan adaptasi kedalam bentuk cerita masyarakat betawi.
Penggarapan cerita pada Topeng Blantek menggunakan alur cerita atau plot. Plot adalah alur atau jalan cerita.Plot adalah lakon atau kisahan.[4]Alur ini yang mengantarkan lakon menjadi semakin menarik. Pada mulanya plot pada penggarapan cerita Topeng Blantek digarap secaralisan. Plot ini bermula dan plot lisan atau hanya menjelaskan konsep dan mulut-kemulut.Kemudian sering berkembangnya zaman, ada beberapa teater rakyat yang sudah menggunakan plot tertulis. Tetapi para aktor tradisional tidak mau mengenal naskah yang sudah tertulis dan ada dialognya. Apabila pemain diberikan naskah, maka naskah tersebut kurang efektif, bahkan hanya dilihat dan dipegang saja, naskah tersebut tidak akan dihapal dan dibaca dengan serius. Sebab jika terpaku dengan naskah tertulis, hal itu hanya membuat para pemain merasa dibatasi kreatifitasnya dan terkekang dalam berimprovisasi. Alur cerita merupakan jalan cerita dalam sebuah plot. Plot adalah lakon atau kisahan,yang mengulurkan drama.[5]
Di dalam plot tersebut terdapat adegan atau bagian-bagian cerita yang didalangi langsung oleh tokoh Jantuk. Bisa dikatakan, tokoh Jantuk yang memegang plot atau alur cerita seperti layaknya sutradara. Peran tokoh Jantuk sebagai pemimpin sebuah cerita adalah apabila ada pemain yang keluar atau lan dan plot, maka tokoh Jantuk lah yang mengingatkan para pemain untuk kembali ke dalam plot atau alur cerita tersebut dengan mengingatkan seorang pemain untuk melanjutkan cerita. Biasanya saat Jantuk bermain ada kalanya dia berimprovisasi dan plot untuk memanjangkan durasi atau untuk mencari lawakan, lelucon, dan menaikan emosi sebuah cerita. Tokoh jantuk memiliki peran ganda bisa menjadi pemain dan dalang.
2.             Kostum
Kostum yang digunakan adalah pakaian sehari-hari masyarakat betawi dan tentunya disesuaikan dengan tokoh yang dilakonkan para panjak (pemain).
3.             Musik
Musik Topeng Blantek meliputi beberapa aspek diantaranya (tangga nada, instrument-instrumen, lagu-lagu). Tangga nada yang dipergunakan untuk mengiringi Topeng Blantek kebanyakan tangga nada diantonis, antara lain lagu sirih kuning, surilang dan ada lagu yang bertangga nada pelog atau slendro antara lain lagu kang haji, lagu kangsreng dan adapula yang bertangga nada debusi misalnya jali-jali dan kicir-kicir. Instrumen-instrumen yang dipergunakan untuk mengiringi Topeng Blantek antara lain 3 Buah Rebana (Biang, Ketok, Kotek) dan ada pula yang mempergunakan Rebab, Kendang, Kenong, Kecrek, Bende dan Gong.[6]
Iringan musik dalam pertunjukan Topeng Blantek berbeda dengan teater rakyat betawi lainnya. Pada awalnya, ia hanya seperangkat alat musik sederhana dan apa adanya seperti kaleng, panci, kayu, batu. Namun, seiring perkembangan jaman kini alat musik yang digunakan merupakan musik campuran dari masyarakat Betawi yang heterogen.  Musik yang baik dan tepat bisa membantu aktor atau pemainnya membawakan warna dan emosi peranannya dalam adegan.[7]
Peran musik dalam sebuah pertunjukan tidak lagi sekedar menghadirkan ilustrasi yang mengatur adegan melain kan menjadi satu kesatuan bagian yang tak terpisahkan dari lakon atau pertunjukan itu sendiri yang dapat menciptakan suasana yang tepat lebih dari itu, musik pun harus sampai ke telinga penontonnya dengan rasa keindahan. Dengan demikian, tata musik harus mengandung nilai-nilai sesuai struktur pertunjukan.[8]
4.             Topeng
Dalam pertunjukan Topeng Blantek, topeng digunakan untuk karakter tokoh jantuk sebagai narrator atau dalang (pembuka-penutup pertunjukan). Ketika pertunjukan dimulai, tokoh jantuk dapat membuka topengnya dan dapat berlakon sebagai tokoh lainnya dalam pertunjukan. Topeng merupakan ciri khas pada pertunjukan Topeng Blantek tidak dapat dipisahkan kalau tidak ada topeng nama pertunjukannya bukan Topeng Blantek.
5.             Tata teknik pentas
Tata teknik pentas dalam pertunjukan Topeng Blantek merupakan sebagai artistik dan simbolik, menjadi elmen pendukung yang mampu menciptakan imajinasi visual[9].  Tata teknik pentas tersebut antara lain :
a.    Sundung
Sundung terbuat dari bambu, pada mulanya digunakan oleh pedagang sebagai alat pembawa barang (rumput, sayuran, kayu bakar) untuk dijual dipasar. Seiring berjalannya waktu, sundung digunakan sebagai artistic pertunjukan Topeng Blantek yang berfungsi sebagai pembatas antara panjak (pemain), nayaga (pemusik) dan penonton.
b.    Obor
Obor terbuat dari bambu yang dulu digunakan sebagai alat penerangan pada setiap pertunjukan Topeng Blantek yang digelar pada malam. Kini, obor tidak hanya sebagai alat penerangan, tapi difungsikan sebagai artistik pertunjukan Topeng Blantek. Selain itu, obor juga berfungsi sebagai pembatas/pembeda ruang dan waktu para panjak (pemain). Contohnya, bila panjak (pemain) dalam perjalanan dekat harus memutari obor sebanyak satu kali dan kalau perjalanannya jauh panjak (pemain) harus memutari obor lebih dari satu kali.
c.       Waktu dan tempat pertunjukan
Pada mulanya pertunjukan Topeng Blantek diselenggarakan semalaman suntuk di tempat terbuka yang berada di tengah pasar. Kini, berangsur-angsur pertunjukan Topeng Blantek disesuaikan dengan kondisi yang ada bisa malam, pagi, siang dan sore hari. Pertunjukan Topeng Blantek dapat dipentaskan kapan dan dimana saja (di ruang terbuka/tertutup, arena dan panggung) sesuai kebutuhan pertunjukan.
d.      Unsur gerak
Dalam pertunjukan Topeng Blantek tidak luput dari unsur gerak seperti pencak silat, tarian dan tokoh jantuk yang berkarakter interaktif/enerjik. agar di atas panggung tercipta sebuah komposisi unsur gerak yang memnuhi keindahan gerak sebagaimana yang di tuntu.[10]


e.       Tata Rias dan Busana
karakter tokoh-tokoh atau para pemain dapat tampil dengan meyakinkan apabila unsur-unsur tat arias dan tata busana sebuah pertunjukan Topeng Blantek diciptakan atas dasar estetis.[11]
Tata rias merupakan perkara seni yang kompleks.Manusia dapat dirias sesuka hati, manusia dalam teater.[12] Artinya manusia dapat dirias dengan sesuka hati di dalam pertunjukan teater sesuai dengan karakter yang dimainkan.Tata rias merupakan seni menggunakan bahan kosmetika untuk menciptakan wajah peran sesuai dengan tuntutan lakon.Fungsi pokok dan rias merupakan mengubah watak seseorang, baik dan segi fisik, psikhis, dan sosial.[13] Fungsi bantuan rias adalah untuk memberikan tekanan atau aksen terhadap perannya. Tata rias pada pertunjukan lopeng Blantek tanpa harus menggunakan aksen pada wajahnya pun pertunjukan dapat berjalan dan ditampilkan. Tetapi karena kebutuhan penonton untuk menjelaskan karakter yang dimainkan, kini Topeng Blantek sudah menggunakan aksen pada wajahnya. Tata rias Topeng Blantek menggunakan karakter keseharian, hanya dengan aksen yang minimalis pertunjukan Topeng Blantek dapat dimainkan dengan lancar. Pada pertunjukan Topeng Blantek biasanya yang menggunakan aksen untuk tokoh karakter tertentu, mereka biasanya menggunakan bahan tata rias tradisional, yaitu areng atau pensil sipat berwarna hitam untuk membentuk aksen pada jengot, kumis, alis dan lainnya.
Tata Busana sebuah produksi drama yang dipentaskan merupakan sesuatu yang dilihat dan didengar oleh penonton, dan sebab itu seorang pelaku selain harus memperhatikan bagaimana membawakan ceritanya, ia juga harus memperhatikan bagaimana penampilannnya. Seorang pelaku sebelum didengar suaranya, sudah pasti penampilannya yang dilihat lebih dahulu.Maka dan itu kesan yang ditimbulkarmya pada penonton yang pertama kali tampak dapat membantu menggariskan dan memperkuat karakter melalui pakaiannya, lantas memperkuat kesan itu atau mengubahnya menurut keperluan lakon.[14]
Pakaian yang biasa digunakan pertunjukan Topeng Blantek merupakan kostum atau pakaian sehari-hari adat budaya Betawi sesuai dengan tokoh yang dimainkan para pemain. Biasanya kostum adat budaya Betawi menggunakan pakaian muslim adat Betawi, karena masyarakat Betawi rata-rata merupakan penganut agama islam. Kostum bernuansa Islami ini tetap mencirikan kekhasan Betawi yang merupakan unsur perpaduan dan budaya Sunda, Jawa, Arab dan Cina.Pakaian Topeng Blantek lebih kepada kostum keseharian si tokoh dan memiliki warna yang gelap, namun terkadang bisa mirip dengan kostum Lenong yang cerah. Inilah beberapa contoh kostum Topeng Blantek kesehanian sesuai dengan tokohnya.
f.      Gaya Penyajian
Gaya penyajian Topeng Blantek merupakan gaya permainan yang disajikan dalam pertunjukan Topeng Blantek, biasanya menggunakan gaya lelucon atau lawakan sesuai dengan Iingkungannya. “Gaya lelucon atau lawakan merupakan gaya permainan yang dilakukan hampir dalam setiap pertunjukan teater tradisional, terutama pada jenis teater rakyat. [15]Bahkan porsi lawakan ini sering benlebihan dan selalu mengikuti keinginan penonton.
g.      Struktur Penyajian
Struktur penyajian merupakan aliran atau lakon yang mempunyai struktur jelas.Inilah yang sering dinamakan struktur drama.[16] Dalam pertunjukan Topeng Blantek terdapat struktur pertunjukan di dalamnya, agar pertunjukan tersebut berjalan sesuai dengan pakem-pakemnya.
Struktur penyajian Topeng Blantek adalah sebagai berikut:
• Mengundang para penonton
Mengundang para penonton dengan cara menampilkan musik, tari, nyanyian, dan pencak silat atau dalam bahasa Inggrisnya disebut happening art, kemudian setelah itu masuk pembukaan.
• Pembukaan
Pembukaan di awali dengan tokoh Jantuk sebagai narator cerita, kemudian setelah itu narator menceriitakan isi ceriita
• Isi cenita
Isi cerita dimainkan oleh para Niaga (pemain lakon) sesuai dengan cenita plot dengan menggunakan improfisasi dan spontanitas sampai akhir cerita.
• Penutup
Penutup diakhiri oleh tokoh Jantuk sebagai pembawa pesan cerita dan penutup pertunjukan.


     [1] Sudarsono R.M, Pengantar Apresiasi seni, cet-I, Jakarta: Balai Pustaka, 1992. Hal 132-134
        [2] Edi Sedyawati, Sapardi Djoko Damono, Seni Dalam Masyarakat Indonesia Bunga Rampai, Jakarta: PT. Gramedia, 1983. Hal 91-92
       [3] Achmad, A. Kasim. Mengenal Teater Tradisional di Indinesia. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. 2006. Hal 98
       [4]Surwardi Endraswara. Metode Pembelajaran Drama.Yogyakarta: CAPS. 2011. Hal 24

       [5] Ibid.
       [6] Copyan Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional Betawi, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Tahun 1993, Atik Sopandi, M Suaman, Abdurachman, Dan Hisman, SM Ardan.
       [7] Harymawan. Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1993. Hal 159
       [8] Mukhlis paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia Seni Pertunjukan dan seni Media, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Hal . 12
       [9]  Ibid. hal 10
       [10] Ibid. hal 12
       [11]  Ibid. hal 11
       [12] Radhar Panca, Dahana. Homo Theafricus.Magelang: Indonesia Tera.  2000. Hal 175
      [13] Surwardi, Endraswara. Metode Pembelajaran Drama.Yogyakarta: CAPS. 2011
          2011. ibid. Hal 97
       [14] Herymawan, Dramaturgi.Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1993. Hal 127
        [15] A. Kasim, Achmad. Mengenal Teater Tradisional di Indinesia. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. 2006. Hal 18
        [16] Endraswara, Metode Pembelajaran Drama.Yogyakarta: CAPS. 2011. Hal 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar