Rabu, 25 Mei 2016

TOPENG BLANTEK DI KAMPUNG BETAWI

(STUDI KASUS: SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG) SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008 KONSENTRASI ASIA TENGGARA PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M

C. Islam dan Kebudayaan Betawi

1. Proses islamisasi di masyarakat Betawi

Islam dan Betawi merupakan hal yang tidak bias dipisahkan. Bahkan sebutan Betawi hanya bisa digunakan oleh masyarakat Betawi penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Sedangkan yang beragama Kristen secara turun menurun biasanya disebut dengan daerah asalnya, seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga keturunan Mardjijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan penduduk asli beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda Depok. Penduduk asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan Orang Selam yang merupakan pengucapan setempat untuk Islam.

Islam memang sudah hadir dan berkembang di Jakarta setelah Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa dari Protugis pada 22 Juni 1527, walaupun hal itu masih menjadi perdebatan karena dibantah oleh Ridwan Saidi yang mengatakan Islam sudah adab 35 tahun sebelum Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa. Perdebatan juga muncul bertalian dengan proses awal pembentukan komunitas etnis Betawi, yaitu apakah mereka baru terbentuk sejak pembanguan kembali kota pelabuhan Jayakarta ditangan orang-orang Belana yang kemudian mereka sebut dengan Batavia ataukah jauh sebelumnya, yaitu ketika kota pelabuhan tersebut masih disebut Sunda Kelapa dan berada dibawah kekuasaan raja Sunda Pajajaran yang Hindu kemudian bersambung dengan kekuasaan Banten islam, maka komunitas etnis Betawi telah lama dan berumur tua.

Abdul Aziz, Op Cit, hal 75 Ibid., hal 29 dan 74.

Sejak abad ke-18 ada ulama asal Batavia yang belajar mengajar di Makkah dan Madinah menggunakan kata “Al-Batawi” dibelakang namanya, seperti Syaikh Abdurrahman al-Batawi yang sejaman dengan ulama terkenal Muhammad Arsyad al-Banjari sekitar tahun 1710-1812.45 Tetapi hal itu lebih menunjukan tempat asal dari pada edentitas etnis, sebagaimana lazimnya nama ulama Nusantara saat itu, seperti Mahfudz at- Tremasi dari termas, bukan al-jawi yang berarti orang Jawa dan lebih berkonotasi etnik, Hasan Mustafa al-Garuti dari Garut bukan as-Sundawi yang berarti orang Sunda atau Abdurrauf As-Sinkili dari Singkel bukan Al-Asyihi yang berarti orang Aceh.46 Tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang fanatic terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan sentiment anti Barat pada pertengahan abad ke-19 disebabkan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama dan habib terkemuka Sehingga Islam pada saat itu melebar luas pada masyarakat Betawi. Ketaatan masyarakat Betawi terhadap agamanya membuat Almarhum prof Hamka tertarik dan mengaguminya. Dalam suatu seminar, yaitu “Seminar Perkembangan Islam” di Jakarta pada tahun 1987, ia mengatakan: “sungguhpun begitu adalah sangat mengagumkan kita, memilik betapa teguhnya orang Betawi atau orang Jakarta memeluk agama Islam. Selama 350 tahun itu, di antara penjajah dengan anak negeri asli masih tetap sebagai “minyak dan air”. Telah bertemu dalam satu botol, namun tidak bisa bercampur. Bagaimanapun keras mengaduk minyak dalam air, sehabis adukan itu, disaat itu mereka berpisah kembali.

Ibid. hal 73 Mengenai kebiasaan ulama Nusantara di Haramain menambahkan nama tempat asal mereka dibelakang nama diri, lihat Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Akar pembaharuan Islam Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005.  Hamka, Beberapa Perhatian Tentang Perkembangan Islam di Jakarta, dalam Ridwan Saidi,Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, LSIP, Jakarta, 1994, hal 210.

Hamka juga menemukan bukti lain tentang kuatnya orang Betawi memegang agama Islam. Selama 350 tahun dijajah Belanda tetapi jarang sekali terdengar anak Betawi yang masuk Kristen. Kendati orang Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan tetapi jika masuk Kristen adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa kemiskinan mudah menjadi kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi kecuali menjadi kafir. Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda. Zikir, ratib, pembacaan manakib Syaikh Saman, mauled Barjanji serta Diba. Semuanya merupakan ekspresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri isyhadu bi anna muslimin49 suatu ekspresi teoligis yang nyaris sepi dari politik, kendati demekian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik melihat kegigihan dan keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam, begitu pula portugis dan penguasa inggris yang merasa khawatir terhadap perkembangan Islam yang bisa membahayakan bagi kelangsungan penjajahan.

Kemudian masyarakat Betawi dalam beragama Islam paham mengenai Tarekat kurang berkembang di Jakarta, di zaman Belanda walaupun zikir tidak dilarang, tetapi berkumpul terlalu lama tidak di perbolehkan.  Sedangkan untuk mengamalkan tarekat, diperlukan waktu berkumpul yang lama. Ulama Betawi secara umum adalah bukan penganut terekat.

Ibid,. hal 211 Makna dari kata bahasa Arab tersebut ialah “saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam” Yasmin Zaki Shahab (ed), Betawi Dalam Perspektif Kontemporer, perkembangan, Potensi dan Tantanga, Kebudayaan Betawi, Jakarta, 1997. Hal 96  Tarekat secara harfiah berarti jalan, cara atau metode. Dalam tasawuf istilah ini sampai abad ke-11(5H) berarti jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu berada sedekat mungkin dengan Allah atau berada di hadirat-Nya tanpa dibatasi oleh hijab (dinding yang membatasi mata batin seseorang dengan Allah). Jalan tersebut harus

Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab SyafiI dan berpaham Ahli Sunnah Wal Jamaah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam mordenis dan Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar dikalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan tahayul, bidah dan khurafat. Kencaman tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan tradisi Betawi yang beberapa hal bersentuhan dengan tahayul, bidah dan khufarat. Berpegang teguhnya masyarakat Betawi dalam memegang ajaran Islam hingga kini tidak dapat diragukan. Hal ini bisa dibuktikan ketika masyarakat Betawi menjadi sangat terusik saat SCTV menayangkan siaran langsung Misa Natal 25 Desember 1999. Pasalnya, masyarakat Betawi tidak bisa menerima para jemat dari “Gereja Betawi” menggunakan busana Betawi yang juga merupakan busana muslim, yaitu baju koko dan peci untuk pria, kebaya dan kerudung untuk wanitanya. H. Irwan SyafiI, saat itu ketua lembaga Kebudayaan Betawi, mengatakan bahwa dari dulu orang Belanda jika ke gereja memakai jas dan dasi tidak memakai busanan muslim. Terlebih nama gereja itu, menurut Sejumlah tokoh Betawi dulunya bernama Gereja Pasunda Injil karena sebelumnya berada
diwilayah Jawa Barat.. Untuk konteks Islam di Betawi, Cheng Ho juga meninggalkan jejak yang sangat penting. Memang tidak langsung, namun jejak ini berimplikasi jauh pada melewati sederetan maqam (tahap) seperti maqam taubat, zuhud, sabar, rida, mahabbah (cinta) dan marifatullah (mengenal Allah dengan hati nurani). Jika calon sufi telah mencapai maqam marifatullah maka ia menjadi sufi secara aktual. Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedia Islam Indonesia, 

 Djambatan, Jakarta, 1992. Hal 927  Alwi Shahab, Robin Hood Betawi, Jakarta: Republika,2001. Hal 94

pembentukan sejarah Sunda Kelapa. Seorang anggota rombongannya, yaitu Syekh Kuro, memutuskan untuk menyiarkan Islam diKarawang. Dari sini kemudian, penyiaran Islam ke Betawi dilakukan. Dengan demikian, menghubungkan Islamisasi Betawi dengan Syekh Kuro dan Cheng Ho adalah sah dan dapat dipertanggung jawabkan secara historis.Tulisan ini hendak menelusuri peran murid-murid Syekh Kuro dalam proses Islamisasi di Betawi. Murid di sini tidak perlu ditafsirkan secara harfiah yaitu orang yang belajar secara langsung dengan guru tertentu, namun mereka yang mengambil peran yang sama yaitu sebagai penyiar Islam, dan secara historis terhubung. Lewat santri-santrinya yang sebagian berasal dari kalangan ningrat, Islam dengan cepat menyebar di Tanah Sunda. Meski Prabu Siliwangi tetap beragama Hindu, namun iatidak bisa mencegah keturunannya memeluk agama baru bahkan menyebarkannya.Diperkirakan proses Islamisasi di Betawi dan sekitarnya terjadi pada abad ke-14 sampai 16. Kuat masyarakat Betawi dalam memegang teguh ajaran Islam dikarenakan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan
munculnya sejumlah ulama dan habaib terkemuka dalam meyebarkan dan mengembangkan pemahaman tentang ajaran Islam. Betawi dan Islam memang merupakan dua sisi dari sebuah mata uang. Peran Islam yang signifikan dan pengaruhnya pada setiap lini kehidupan masyarakat Betawi nampak pada peneguhan identitas Betawi dengan Islam yang terlihat jelas pada proses rekacipta tradisi Betawi yang ramai bermunculan sejak tahun 1970-an.

Yasmine Z Shahab, Konflik Identitas:Etnis dan Religi, dalam Yasmine Z Shahab, Identitas dan Otoritas : Rekontruksi Tradisi Betawi (Depok, Laboratorium Antropologi FISIP UI, 2004) h119.

Dalam proses rekacipta tradisi Betawi ini nilai Islam semakin ditekankan pada setiap tradisi hasil kreasi anak Betawi. Berbagai upacara keagamaan, kesenian, dan hiburan masyarakat Betawi baik yang asli dalam artian tidak dikurangi atau ditambahkan dengan unsur-unsur luar Betawi, maupun tradisi yang dihasilkan dari proses rekacipta, kesemuanya itu dapat diterima dan diakui oleh seluruh lapiasan masyarakat Betawi apabila tidak bertentangan dengan nilai Islam. Masyarakat Betawi secara aktif hanya menerima, memilih dan mengakui kreasi baru pada seni dan budaya Betawi yang bernuansa Islam. 

2 Kebudayaan Masyarakat Betawi

Kota Jakarta yang merupakan daerah komunitas asli masyrakat Betawi dahulu dikenal sebagai tempat berlabuhnya para saudagar dan pedagang dari berbagai pelosok nusantara bahkan dari berbagai masyarakat asi (luar Betawi), bahkan ada diantaranya yang memutuskan untuk menetap di kota ini. Para pedatang tersebut membawa pula adat-istiadat serta seni budaya dari masingmasing di daerahnya, sehinnga penduduk Kota Jakarta merupakan masyarakat yang heterogen. Adat dan budaya luar tersebut sangat berpengaruh pada adat dan budaya Betawi termasuk didalamnya arsitektur rumah tinggal suku Betawi. Berkaitan dengan variasi dalam identitas etnik Betawi pada waktu itu adalah adanya variasi dalam kebudayaan Betawi. Beberapa tradisi yang berkaitan dengan upacara-upacara lingkaran hidup, dialek bahasa, ungkapan-ungkapan kesenian, dan berbagai ungkapan simbolik dalan kehidupan sehari-hari memperlihatkan adanya variasi-variasi lokal dalam kebudayaan Betawi berdasarkan atas tempat pemukiman mereka yang berbeda-beda. Secara garis besarnya perbedaan kebudayaan dan identitas karena perbedaan asal tempat pemukiman tersebut dapat dibedakan berdasarkan atas penggolongan wilayah Jakarta dalam Jakarta Utara, Selatan, Timur, Barat, dan Tengah sampai dengan tahun 50-an, variasi kebudayaan dalam berbagai ungkapannya, diantara wilayahwilayah Jakarta tersebut masih nampak. Ditahun-tahun sebelumnya, dan lebihlebih lagi pada tahun akhir abad ke-19 dimana identitas etnik mulai terbentuk, ungkapan-ungkapan keanekaragaman kebudayaan tersebut dapat disimpulkan sebagai lebih bervariasi.

Walaupun nampak adanya berbagai variasi dalam tradisi-tradisi kebudayaan orang Betawi sesuai dengan perbedaan wilayah di kota Jakarta, tetapi sesungguhnya kebudayaan Betawi memperlihatkan adanya kesamaan atau keseragaman dalam perbedaan-perbedaan berdasarkan wilayah-wilayah pemukiman yang berbeda-beda. Keseragaman kebudayaan masyarakat Betawi terwujud karena adanya tema utama dalam kebudayaan yaitu Islam, dan karena adanya bahasa dan pola komunikasi yang sama yang berdasarkan atas bahasa melayu lokal sebagai bahasa pergaulan sehingga perbedaan-perbedaan yang ada dapat dijembatani dan saling disesuaikan. Masyarakat Betawi merupakan masyarakat Islam yang sangat taat. Mereka sangat menentang adat dan budaya asing diterapkan di tengah-tengah lingkungan mereka jika hal tersebut bertentangan dengan nila-nilai Islam, mereka menyebutnya sebagai sesuatu yang “bid-ah” atau “haram”. Sebaliknya, mereka sangat antusias menerima suatu ada yang bernafaskan Islam, seperti kesenian Rebana Qasidah, Rebana Tempiring dan sebagainya. Meskipun demikian demikian mereka bukanlah termasuk muslim yang fanatik. Sikap mereka tetap terbuka dan bertoleransi tinggi terhadap penganut agama lain. Dalam artian mereka sama-sama tidak menyinggung masalah SARA dalam pergaulannya. Hal ini berkaitan dengan asal-usul masyrakat Betawi itu sendiri, yang merupakan hasil percampuran dari berbagai etnis yang berasal dari berbagai pelosok negeri untuk berdagang atau bekerja di tanah Betawi. Kebudayaan orang Betawi ini dikenal melalui bahasa pemersatunya, yaitu bahasa Melayu Betawi. Bahasa ini lahir dan berkembang melalui proses pengedapaan berbagai bahasa seperti Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Makassar, Bugis, Cina, Arab, Belanda, Portugis dan bahasa-bahasa lainnya.56 Setiap bangsa memiliki kesenian maupun kebudayaan tradisionalnya masing-masing Merupakan sebuah kebudayaan yang dihasilkan melalui percampuran antar etnis dan suku bangsa, seperti Portugis, Arab, Cina, Belanda, dan bangsa-bangsa lainnya, dan juga kesenian Betawi merupakan perpaduan seni budaya masyarakat Sunda dan Jawa. ragam hiasan, seni pertunjukan, corak pakaian, rumah tinggal serta perabot rumah masyarakat Betawi indah dan menarik. Dari benturan kepentingan yang

Bid-ah Istilah agamislam untuk menyebutkan bahwa suatu pekerjaan atau suatu benda dianggap meragukan apakah hal tersebut halal atau haram Haram adalah istilah agama islam untuk menyebut bahwa suatu pekerjaan atau suatu benda dianggap tidak boleh dikerjaan 56 Danadjaja,j. Manfaat penelitian folklore Betawi, dalam : Wijaya, H. Seni Budaya Betawi Pra Lokal Karya Penggalian dan Pengembangannya, Dinas Kebudayaan, Jakarta. 57 Emot Rahmat Taendifia, dkk. Gado-Gado Betawi ( Masyarakat Betawi Ragam Budayanya) Jakarta: Pt.Grasindo. 1996. Hal 15

dilatarbelakangi oleh berbagai budaya. Kebudayaan Betawi mulai terbentuk pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai hasil proses asimilasi penduduk Jakarta yang majemuk. Menurut Umar Kayam, kebudayaan Betawi ini sosoknya mulai jelas pada abad ke-19. Yang dapat disaksikan, berkenaan dengan budaya Betawi
diantaranya bahasa logat Melayu Betawi, teater (topeng Betawi, wayang kulit Betawi), musik (gambang kromong, tanjidor, rebana), baju, upacara perkawinan dan arsitektur perumahan. Dalam kebudayaan Betawi terlihat jelas pengaruh kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa. Rupanya bahasa Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti di kalangan masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh Portugis terasa pula dalam seni musik, tari-tarian, dan kesukaan akan pakaian hitam. Budaya Portugis ini masuk melalui orang Moor (dari kata Portugis Mouro, artinya "muslim"). Pengaruh Arab itu tampak dalam bahasa, kesenian dan tentunya dalam budaya Islam umumnya. Budaya Cina terserap terutama dalam bentuk bahasa, makanan dan kesenian. Dalam kesenian, pengaruh budaya Cina tercermin, misalnya pada irama lagu, alat dan nama alat musik, seperti kesenian Gambang Rancak. Pengaruh Belanda terasa antara lain dalam mata pencaharian, pendidikan, dan lain-lain. Hingga saat ini, unsur budaya asing lain dapat dirasakan di sana sini dalam budaya Betawi.

http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3842/Betawi-Suku di akses padatanggal 26 Agustus 2015 01:35 pm

Ada beberapa seni budaya masayarakat Betawi antara lain sebagai berikut:

1. Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

2. Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis. 

3. Drama

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong, Tonil dan Topeng Betawi atau Topeng Betawi. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung
dengan penonton.

4. Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan  Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya. 

5. Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu. 

6. Rumah tradisional

Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya. Masyarakat dan budaya Betawi, termasuk proses migrasi penduduk serta proses akulturasi kebudayaannya Artinya, masyarakat Betawi dan kebudayanya merupakan sebuah potret yang ada dalam lingkaran bingkai kebudayaan nasional. Karena, sedikit banyak, ia telah memainkan peran pentingnya dalam proses pembentukan dan perkembangan masyarakat serta kebudyaan di Nusantara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar