(STUDI KASUS: SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG) SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008 KONSENTRASI ASIA TENGGARA PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M
C. Islam dan
Kebudayaan Betawi
1. Proses islamisasi di
masyarakat Betawi
Islam dan Betawi merupakan hal
yang tidak bias dipisahkan. Bahkan sebutan Betawi hanya bisa digunakan oleh
masyarakat Betawi penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Sedangkan yang
beragama Kristen secara turun menurun biasanya disebut dengan daerah
asalnya, seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga
keturunan Mardjijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan
penduduk asli beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda
Depok.
Penduduk
asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan
Orang Selam yang merupakan pengucapan setempat untuk Islam.
Islam memang sudah hadir dan
berkembang di Jakarta setelah Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa dari
Protugis pada 22 Juni 1527, walaupun hal itu masih menjadi perdebatan karena
dibantah oleh Ridwan Saidi yang mengatakan Islam sudah adab 35 tahun sebelum
Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa. Perdebatan juga muncul bertalian
dengan proses awal pembentukan komunitas etnis Betawi, yaitu apakah mereka
baru terbentuk sejak pembanguan kembali kota pelabuhan Jayakarta ditangan
orang-orang Belana yang kemudian mereka sebut dengan Batavia ataukah jauh
sebelumnya, yaitu ketika kota pelabuhan tersebut masih disebut Sunda Kelapa dan
berada dibawah kekuasaan raja Sunda Pajajaran yang Hindu kemudian bersambung
dengan kekuasaan Banten islam, maka komunitas etnis Betawi telah lama
dan berumur tua.
Abdul Aziz, Op Cit, hal 75 Ibid., hal 29 dan 74.
Sejak abad ke-18 ada ulama asal
Batavia yang belajar mengajar di Makkah dan Madinah menggunakan kata
“Al-Batawi” dibelakang namanya, seperti Syaikh Abdurrahman al-Batawi yang
sejaman dengan ulama terkenal Muhammad Arsyad al-Banjari sekitar tahun
1710-1812.45
Tetapi
hal itu lebih menunjukan tempat asal dari pada edentitas etnis,
sebagaimana lazimnya nama ulama Nusantara saat itu, seperti Mahfudz at- Tremasi dari
termas, bukan al-jawi yang berarti orang Jawa dan lebih berkonotasi etnik,
Hasan Mustafa al-Garuti dari Garut bukan as-Sundawi yang berarti orang Sunda
atau Abdurrauf As-Sinkili dari Singkel bukan Al-Asyihi yang berarti orang Aceh.46 Tidak dapat
dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang fanatic
terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan
sentiment anti Barat pada pertengahan abad ke-19 disebabkan oleh perkembangan
dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya
sejumlah ulama dan habib terkemuka Sehingga Islam pada saat itu melebar luas pada
masyarakat Betawi. Ketaatan masyarakat Betawi
terhadap agamanya membuat Almarhum prof Hamka tertarik dan mengaguminya.
Dalam suatu seminar, yaitu “Seminar Perkembangan
Islam”
di Jakarta pada tahun 1987, ia mengatakan: “sungguhpun begitu adalah sangat mengagumkan kita,
memilik betapa teguhnya orang Betawi atau orang Jakarta memeluk agama Islam.
Selama 350 tahun itu, di antara penjajah dengan anak negeri asli masih tetap sebagai
“minyak dan air”. Telah bertemu dalam satu botol, namun tidak bisa bercampur.
Bagaimanapun keras mengaduk minyak dalam air, sehabis adukan itu, disaat itu mereka
berpisah kembali.
Ibid. hal 73 Mengenai kebiasaan ulama
Nusantara di Haramain menambahkan nama tempat asal mereka dibelakang nama diri, lihat Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII, Akar pembaharuan Islam Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005. Hamka, Beberapa Perhatian
Tentang Perkembangan Islam di Jakarta, dalam Ridwan Saidi,Orang Betawi dan
Modernisasi Jakarta, LSIP,
Jakarta, 1994, hal 210.
Hamka juga menemukan bukti lain
tentang kuatnya orang Betawi memegang agama Islam. Selama 350 tahun
dijajah Belanda tetapi jarang sekali terdengar anak Betawi yang masuk Kristen.
Kendati orang Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan
tetapi jika masuk Kristen adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa
kemiskinan mudah menjadi kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi
kecuali menjadi kafir. Islam memberi makna eksistensial
akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda. Zikir, ratib,
pembacaan manakib Syaikh Saman, mauled Barjanji serta Diba. Semuanya
merupakan ekspresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri isyhadu
bi anna muslimin49
suatu
ekspresi teoligis yang nyaris sepi dari politik,
kendati demekian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik melihat kegigihan dan
keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam, begitu pula portugis dan
penguasa inggris yang merasa khawatir terhadap perkembangan Islam yang bisa
membahayakan bagi kelangsungan penjajahan.
Kemudian masyarakat Betawi dalam
beragama Islam paham mengenai Tarekat kurang berkembang di Jakarta, di
zaman Belanda walaupun zikir tidak dilarang, tetapi berkumpul terlalu lama
tidak di perbolehkan. Sedangkan untuk mengamalkan tarekat, diperlukan
waktu berkumpul yang lama. Ulama Betawi secara umum adalah bukan penganut
terekat.
Ibid,. hal 211 Makna dari kata bahasa Arab
tersebut ialah “saksikanlah bahwa kami adalah
orang-orang Islam” Yasmin Zaki Shahab (ed), Betawi
Dalam Perspektif Kontemporer, perkembangan, Potensi dan Tantanga, Kebudayaan
Betawi, Jakarta, 1997. Hal 96 Tarekat secara harfiah berarti
jalan, cara atau metode. Dalam tasawuf istilah ini sampai abad ke-11(5H) berarti jalan yang
harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu berada sedekat
mungkin dengan Allah atau berada di hadirat-Nya tanpa dibatasi oleh hijab (dinding yang
membatasi mata batin seseorang dengan Allah). Jalan tersebut harus
Islam yang hadir di Betawi lebih
bermadzhab Syafi‟I dan berpaham Ahli Sunnah Wal Jama‟ah yang
cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh
karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam mordenis dan Organisasi Islam
yang berfaham Wahabi kurang mengakar dikalangan masyarakat Betawi
karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan tahayul, bid‟ah dan khurafat.
Kencaman tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya
dan tradisi Betawi yang beberapa hal bersentuhan dengan tahayul, bid‟ah dan khufarat. Berpegang teguhnya masyarakat
Betawi dalam memegang ajaran Islam hingga kini tidak dapat diragukan. Hal
ini bisa dibuktikan ketika masyarakat Betawi menjadi sangat terusik saat SCTV
menayangkan siaran langsung Misa Natal 25 Desember 1999. Pasalnya,
masyarakat Betawi tidak bisa menerima para jemat dari “Gereja Betawi” menggunakan
busana Betawi yang juga merupakan busana muslim, yaitu baju koko dan peci
untuk pria, kebaya dan kerudung untuk wanitanya. H. Irwan Syafi‟I, saat itu
ketua lembaga Kebudayaan Betawi, mengatakan bahwa dari dulu orang
Belanda jika ke gereja memakai jas dan dasi tidak memakai busanan muslim.
Terlebih nama gereja itu, menurut Sejumlah tokoh Betawi dulunya bernama
Gereja Pasunda Injil karena sebelumnya berada
diwilayah Jawa Barat.. Untuk konteks Islam di Betawi,
Cheng Ho juga meninggalkan jejak yang sangat penting. Memang tidak
langsung, namun jejak ini berimplikasi jauh pada melewati sederetan maqam (tahap)
seperti maqam taubat, zuhud, sabar, rida, mahabbah (cinta) dan ma‟rifatullah
(mengenal Allah dengan hati nurani). Jika calon sufi telah mencapai maqam ma‟rifatullah maka
ia menjadi sufi secara aktual. Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedia
Islam Indonesia,
Djambatan,
Jakarta, 1992. Hal 927 Alwi Shahab, Robin Hood
Betawi, Jakarta: Republika,2001. Hal 94
pembentukan sejarah Sunda Kelapa.
Seorang anggota rombongannya, yaitu Syekh Kuro, memutuskan untuk menyiarkan
Islam diKarawang. Dari sini kemudian, penyiaran Islam ke Betawi
dilakukan. Dengan demikian, menghubungkan Islamisasi Betawi dengan Syekh
Kuro dan Cheng Ho adalah sah dan dapat dipertanggung jawabkan secara
historis.Tulisan ini hendak menelusuri peran murid-murid Syekh Kuro dalam
proses Islamisasi di Betawi. Murid di sini tidak perlu ditafsirkan secara harfiah
yaitu orang yang belajar secara langsung dengan guru tertentu, namun mereka yang
mengambil peran yang sama yaitu sebagai penyiar Islam, dan secara
historis terhubung. Lewat santri-santrinya yang sebagian berasal dari kalangan ningrat, Islam
dengan cepat menyebar di Tanah Sunda. Meski Prabu Siliwangi tetap
beragama Hindu, namun iatidak bisa mencegah keturunannya memeluk agama baru
bahkan menyebarkannya.Diperkirakan proses Islamisasi di Betawi dan
sekitarnya terjadi pada abad ke-14 sampai 16. Kuat masyarakat Betawi dalam
memegang teguh ajaran Islam dikarenakan oleh perkembangan dakwah Islam
yang semakin meningkat terutama dengan
munculnya sejumlah ulama dan
habaib terkemuka dalam meyebarkan dan mengembangkan pemahaman tentang
ajaran Islam. Betawi dan Islam memang merupakan
dua sisi dari sebuah mata uang. Peran Islam yang signifikan dan
pengaruhnya pada setiap lini kehidupan masyarakat Betawi nampak pada peneguhan
identitas Betawi dengan Islam yang terlihat jelas pada proses rekacipta tradisi
Betawi yang ramai bermunculan sejak tahun 1970-an.
Yasmine Z Shahab, Konflik
Identitas:Etnis dan Religi, dalam Yasmine Z Shahab, Identitas dan Otoritas : Rekontruksi
Tradisi Betawi (Depok, Laboratorium Antropologi FISIP UI, 2004) h119.
Dalam proses rekacipta tradisi
Betawi ini nilai Islam semakin ditekankan pada setiap tradisi hasil kreasi anak
Betawi. Berbagai upacara keagamaan, kesenian, dan hiburan masyarakat Betawi
baik yang asli dalam artian tidak dikurangi atau ditambahkan dengan unsur-unsur
luar Betawi, maupun tradisi yang dihasilkan dari proses rekacipta, kesemuanya itu
dapat diterima dan diakui oleh seluruh lapiasan masyarakat Betawi apabila tidak
bertentangan dengan nilai Islam. Masyarakat Betawi secara aktif hanya
menerima, memilih dan mengakui kreasi baru pada seni dan budaya Betawi yang bernuansa
Islam.
2 Kebudayaan Masyarakat Betawi
Kota Jakarta yang merupakan
daerah komunitas asli masyrakat Betawi dahulu dikenal sebagai tempat
berlabuhnya para saudagar dan pedagang dari berbagai pelosok nusantara bahkan
dari berbagai masyarakat asi (luar Betawi), bahkan ada diantaranya yang
memutuskan untuk menetap di kota ini. Para pedatang tersebut membawa pula
adat-istiadat serta seni budaya dari masingmasing di daerahnya, sehinnga penduduk
Kota Jakarta merupakan masyarakat yang heterogen. Adat dan budaya
luar tersebut sangat berpengaruh pada adat dan budaya Betawi termasuk didalamnya
arsitektur rumah tinggal suku Betawi. Berkaitan dengan variasi dalam
identitas etnik Betawi pada waktu itu adalah adanya variasi dalam kebudayaan
Betawi. Beberapa tradisi yang berkaitan dengan upacara-upacara lingkaran
hidup, dialek bahasa, ungkapan-ungkapan kesenian, dan berbagai ungkapan
simbolik dalan kehidupan sehari-hari memperlihatkan adanya
variasi-variasi lokal dalam kebudayaan Betawi berdasarkan atas tempat pemukiman
mereka yang berbeda-beda. Secara garis besarnya perbedaan kebudayaan dan
identitas karena perbedaan asal tempat pemukiman tersebut dapat
dibedakan berdasarkan atas penggolongan wilayah Jakarta dalam Jakarta Utara,
Selatan, Timur, Barat, dan Tengah sampai dengan tahun 50-an, variasi kebudayaan
dalam berbagai ungkapannya, diantara wilayahwilayah Jakarta tersebut masih nampak.
Ditahun-tahun sebelumnya, dan lebihlebih lagi pada tahun akhir abad ke-19
dimana identitas etnik mulai terbentuk, ungkapan-ungkapan keanekaragaman
kebudayaan tersebut dapat disimpulkan sebagai lebih bervariasi.
Walaupun nampak adanya berbagai
variasi dalam tradisi-tradisi kebudayaan orang Betawi sesuai dengan
perbedaan wilayah di kota Jakarta, tetapi sesungguhnya kebudayaan Betawi
memperlihatkan adanya kesamaan atau keseragaman dalam
perbedaan-perbedaan berdasarkan wilayah-wilayah pemukiman yang berbeda-beda.
Keseragaman kebudayaan masyarakat Betawi terwujud karena adanya tema utama
dalam kebudayaan yaitu Islam, dan karena adanya bahasa dan pola komunikasi
yang sama yang berdasarkan atas bahasa melayu lokal sebagai bahasa
pergaulan sehingga perbedaan-perbedaan yang ada dapat dijembatani dan saling
disesuaikan. Masyarakat Betawi merupakan
masyarakat Islam yang sangat taat. Mereka sangat menentang adat dan budaya
asing diterapkan di tengah-tengah lingkungan mereka jika hal tersebut
bertentangan dengan nila-nilai Islam, mereka menyebutnya sebagai sesuatu yang
“bid-ah”
atau
“haram”. Sebaliknya,
mereka sangat antusias menerima suatu
ada yang bernafaskan Islam, seperti kesenian Rebana Qasidah, Rebana Tempiring
dan sebagainya. Meskipun demikian demikian mereka bukanlah termasuk
muslim yang fanatik. Sikap mereka tetap terbuka dan bertoleransi tinggi
terhadap penganut agama lain. Dalam artian mereka sama-sama tidak
menyinggung masalah SARA dalam pergaulannya. Hal ini berkaitan dengan asal-usul
masyrakat Betawi itu sendiri, yang merupakan hasil percampuran dari berbagai etnis
yang berasal dari berbagai pelosok negeri untuk berdagang atau bekerja di tanah
Betawi. Kebudayaan orang Betawi ini
dikenal melalui bahasa pemersatunya, yaitu bahasa Melayu Betawi. Bahasa ini
lahir dan berkembang melalui proses pengedapaan berbagai bahasa
seperti Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Makassar, Bugis, Cina, Arab, Belanda,
Portugis dan bahasa-bahasa lainnya.56 Setiap bangsa memiliki kesenian maupun
kebudayaan tradisionalnya masing-masing Merupakan sebuah kebudayaan yang dihasilkan
melalui percampuran antar etnis dan suku bangsa, seperti Portugis, Arab,
Cina, Belanda, dan bangsa-bangsa lainnya, dan juga kesenian Betawi merupakan
perpaduan seni budaya masyarakat Sunda dan Jawa. ragam hiasan, seni
pertunjukan, corak pakaian, rumah tinggal serta perabot rumah masyarakat Betawi indah dan
menarik.
Dari
benturan kepentingan yang
Bid-ah Istilah agamislam untuk
menyebutkan bahwa suatu pekerjaan atau suatu benda dianggap meragukan apakah hal
tersebut halal atau haram Haram adalah istilah agama islam
untuk menyebut bahwa suatu pekerjaan atau suatu benda dianggap tidak boleh dikerjaan 56 Danadjaja,j. Manfaat
penelitian folklore Betawi, dalam : Wijaya, H. Seni Budaya Betawi Pra Lokal Karya
Penggalian dan Pengembangannya, Dinas Kebudayaan, Jakarta. 57 Emot Rahmat Taendifia, dkk. Gado-Gado
Betawi ( Masyarakat Betawi Ragam Budayanya) Jakarta: Pt.Grasindo. 1996. Hal
15
dilatarbelakangi oleh berbagai
budaya. Kebudayaan Betawi mulai terbentuk pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai
hasil proses asimilasi penduduk Jakarta yang majemuk. Menurut Umar Kayam,
kebudayaan Betawi ini sosoknya mulai jelas pada abad ke-19. Yang dapat
disaksikan, berkenaan dengan budaya Betawi
diantaranya bahasa logat Melayu
Betawi, teater (topeng Betawi, wayang kulit Betawi), musik (gambang
kromong, tanjidor, rebana), baju, upacara perkawinan dan arsitektur
perumahan. Dalam kebudayaan Betawi terlihat
jelas pengaruh kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa. Rupanya
bahasa Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti di kalangan
masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh Portugis terasa pula dalam seni musik,
tari-tarian, dan kesukaan akan pakaian hitam. Budaya Portugis ini masuk melalui orang
Moor (dari kata Portugis Mouro, artinya "muslim"). Pengaruh
Arab itu tampak dalam bahasa, kesenian dan tentunya dalam budaya Islam umumnya.
Budaya Cina terserap terutama dalam bentuk bahasa, makanan dan kesenian.
Dalam kesenian, pengaruh budaya Cina tercermin, misalnya pada irama lagu, alat
dan nama alat musik, seperti kesenian Gambang Rancak. Pengaruh Belanda terasa antara
lain dalam mata pencaharian, pendidikan, dan lain-lain. Hingga saat ini,
unsur budaya asing lain dapat dirasakan di sana sini dalam budaya Betawi.
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3842/Betawi-Suku
di akses padatanggal 26 Agustus 2015 01:35 pm
Ada beberapa seni budaya
masayarakat Betawi antara lain sebagai berikut:
1. Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya,
orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni
musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab,
orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang
Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku
Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan
Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
2. Tari
Seni tari di Jakarta merupakan
perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya.
Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda,
Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh
Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain
Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling
dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang
dinamis.
3. Drama
Drama tradisional Betawi antara
lain Lenong, Tonil dan Topeng Betawi atau Topeng Betawi. Pementasan lakon
tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat
Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang
pemeran lenong dapat berinteraksi langsung
dengan penonton.
4. Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di
Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga
dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang
mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya
yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia
persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman
kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran,
Juragan Boing dan yang lainnya.
5. Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo
atau golok yang bersarungkan dari kayu.
6. Rumah tradisional
Rumah tradisional/adat Betawi
adalah rumah kebaya. Masyarakat dan budaya Betawi,
termasuk proses migrasi penduduk serta proses akulturasi kebudayaannya
Artinya, masyarakat Betawi dan kebudayanya merupakan sebuah potret yang ada
dalam lingkaran bingkai kebudayaan nasional. Karena, sedikit banyak, ia telah
memainkan peran pentingnya dalam proses pembentukan dan perkembangan
masyarakat serta kebudyaan di Nusantara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar