Rabu, 25 Mei 2016

TOPENG BLANTEK DI KAMPUNG BETAWI

(STUDI KASUS: SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG) SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008 KONSENTRASI ASIA TENGGARA PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M

4. Mata Pencarian Masyarakat Betawi

Sumber kehidupan masyarakat Betawi pada tempo dulu, setidaknya terjadi sebelum proklamasi kemerdekaan, ketika kiri-kanan jalan antara Pulo Gadung sampai Bekasi masih berupa sawah padi, ketika kiri-kanan jalan antara petojo sampai Tanggerang masih berupa lading, ketika kiri-kanan jalan antara Cawang sampai Bogor masih berupa lahan dengan pohon-pohon besar, ketika daerah pejompongan masih berupa persawahan dan ketika senayan, kuningan, juga beberapa tempat lain masih berupa pemukiman pendudukan dengan lahannya yang luas penuh ditumbuhi berbagai pohon buah-buahan dan sebagainya. Sehingga masyarakat Betawi asli kebanyakan mencari nafkah dengan bertani dan berkebun. Hasil tani atau hasil kebun kemudian mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada umumnya masyarakat Betawi sekarang hidup mapan dan berkecukupan. Walaupun hanya tinggal sedikit masyarakat Betawi yang berdiam di pusat kota Jakarta, beberapa diantara mereka bahkan sudah mengenyam pendidikan tinggi, sehingga dengan demikian mereka pun mampu meningkatkan taraf hidup dengan bekerja sebagai pegawai, bahkan menjadi pedagang besar atau pengusaha.

Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, Jakarta: MasupJakarta, 2001. Hal 231

Tidak ada komentar:

Posting Komentar