Sabtu, 28 Mei 2016

TOPENG BLANTEK DI KAMPUNG BETAWI

(STUDI KASUS : SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG) 
 
SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008 KONSENTRASI ASIA TENGGARA PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M.
 
BAB III
SENI TOPENG BLANTEK

A.       Pengertian Topeng dan Blantek
Sebelum membahas sejarah  tentang Topeng Blantek disini sebenernya ada pemisahan kata makna yaitu Topeng dan Blantek yang masing-masing memiliki arti tersendiri yaitu:
Topeng adalah alat penutup muka, pada umumnya dibuat dari kayu atau kertas, menyerupai muka orang atau makhluk lain. Untuk keperluan seni pertunjukan pembuatan topeng mempunyai dua tujuan. Pertama, topeng dapat mengaktualisasikan jalan ceritanya lebih sempurna. Misalnya untuk menggambarkan tokoh baik. Topengnya diberikan warna putih, sedangkan untuk tokoh ganas warna merah yang cocok, dan untuk penjahat warna hitam yang umumnya dipakai. Disamping warna juga diberikan lukisan muka, misalnya untuk tokoh kesatria matanya kecil, hidung mancung, mulut kecil, sedangkan untuk tokoh raksasa matanya besar, hidungnya besar dan lebar, mulutnya lebar sampai gigi-giginya nampak seram. Kedua, para pemain pertunjukan dapat “menyembunyikan” diri di balik topeng, karena dengan memakai topeng maka penonton tidak mengenenal siapa yang memakai topeng tersebut.
Dengan demikian, maka pemainnya lebih bebas menjalankan tugas permainan dan penonton tidak mudah sentiment terhadap pemain itu sendiri. Agar sebuah topeng tidak mudah terlepas dari pemakainya, ada tali yang mengikatkan topeng kebelakang. Disamping itu ada juga semacam lidah yang digigit oleh pemakainya, bila berbicara terpaksa topeng diangkat sedikit. Untuk lebih bebas lagi bila topeng dibuat setengah (sampai atas mulut).
 Topeng awalnya diciptakan untuk keperluan upacara religi, sehingga roh dewa atau mahluk halus lainnya yang mukanya tentu lain dari manusia biasanya dapat di ekspresikan dengan baik. Masing-masing daerah memiliki model topeng sendiri dalam menggambarkan tokoh yang dimainkan. Dalam perkembangannya kemudian, topeng menjadi pertunjukan, sehingga gambar topengnya  perlu lebih menarik,  membuat orang bergembira, bukan lagi harus ditakuti seperti pada masa lalu.[1]
Penulis menemukan perbedaan dalam mengartikan sebuah Topeng, dalam buku yang saya baca bahwa Topeng adalah sejenis drama rakyat yang memakai kejadian rumah tangga  sehari-sehari sebagai themanya dengan penekan pada humor.
Istilah Topeng dipakai, karena  sebelum pertunjukan dimulai selalu muncul seorang penari yang menari-nari membawakan tarian-tarianya, yang kemudian disusul oleh seorang laki-laki. Biasanya yang laki-laki bertanya, “Ade ape sih?”, yang dijawab dengan,”Gue lagi nopeng” oleh penari wanita itu, lalu dimulailah pertunjukan Topeng Blantek atau juga bias disebut Topeng Betawi.
Bahasa yang dipakai dalam pertunjukan Topeng ialah bahasa Betawi Ora, yaitu bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat Betawi didaerah pinggiran yang sedikit agak berbeda dengan Betawi di Jakarta Pusat. Pakaian yang dipergunakan oleh para pemainnya pakaian biasa, yaitu pakaian yang dikenakan atau dipakai sehari-sehari, dengan maksud agar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. panggung yang dipakai berbentuk area, tanpa alat-alat rumah tangga sama sekali. Tetapi ditengah-tengah area tersebut terdapat sebuah tiang dengan tiga buah lampu minyak dan disekitar tempat itulah pertunjukan dipentaskan.[2]
Dalam perkembanganya hingga kini memang pertunjukan topeng masih dipentaskan, khususnya di daerah Jakarta pinggiran. Karena terpengaruh oleh kebudayaan sunda, maka pertunjukan Topeng Blantek ini memakai gamelan dan lagu-lagu Sunda dengan campuran bahasa Betawi Ora.[3]
Sedangkan  untuk kata blantek ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari bunyi-bunyian musik yang mengiringinya. Yaitu satu rebana biang, dua rebana anak dan satu kecrek yang menghasilkan bunyi, blang blang crek. Namun, karena lidah lokal ingin enaknya saja dalam penyebutan maka muncullah istilah blantek. Namun, ada juga pandangan dari beberapa tokoh Betawi bahwa kata Blantek merupakan bunyi dari rebana biang dan alat sederhana seperti kayu yaitu “berbunyi blang dan tek”.
Yahya Andi Saputra mengatakan bahwa “Penamaan Topeng Blantek itu diberikan karena pertunjukan tersebut dahulunya menggunakan alat-alat : seperti rebana dan kayu. Jika rebana biang berbunyi blang dan kayu berbunyi tek jadi blang tek atau blantek. Oleh sebab itu dinamakanlah menjadi Topeng Blantek”.[4] Atik Soepandi juga menjelaskan bahwa asal-muasal penamaan Blantek, yaitu dari nama rebana biang dan rebana kotek.[5] Seiring perkembangan waktu penggunaan rebana biang bergeser pada alat-alat tradisional lain yang digunakan sebagai pengiring Topeng Blantek seperti gamelan, kromong, gong, gendang dan lain-lain, sehingga rebana biang jarang digunakan oleh para seniman.
Pendapat lainnya mengatakan, asal nama blantek berasal dari Inggris, yaitu blindtexs, yang berarti buta naskah. Marhasan (55),[6] mengatakan permainan blantek dahulu kala tidak memakai naskah dan sutradara hanya memberikan gagasan-gagasan garis besar cerita yang akan dimainkan.
Istilah Blantek dalam kesenian ini adalah campur aduk, tidak karuan, tidak semestinya atau masih dalam tahap belajar. Blantek dalam arti tidak karuan campur aduk dan tidak semestinya didasari oleh anggapan bahwa kesenian ini dalam penyajiannya memasukkan unsur-unsur kesenian lain seperti rebana, ketuk tilu, dan topeng. Munculnya Blantek berawal dari keisengan bocah angon. Bocah angon merupakan penyebutan untuk anak yang sedang pergi mengembala ternak. Anak pengembala yang sedang istirahat itu kemudian iseng iseng main Topeng Blantek. Perkembangan Kesenian blantek pada awalnya diakui sebagai teater  topeng tingkat pemula. Namun, seiring dengan perkembangannya seniman blantek, perkumpulan blantek pun bermunculan, seperti di Ciseeng, Citayam, Bojong Gede, dan Pondok Rajeg.[7]


       [1] Supartono Widyosiwoyo, Sejarah Seni Rupa Indonesia II, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2002)hal. 99-100.
       [2] Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, Jakarta, APPM, 2006, Hal.138-139
       [3] ibid.
      [4] Dikutip dari berita jakarta : http://kampungbetawi.com/gerobog/bebulan/menelisik-topeng-betawi/  diakses 28-12-2014 15:37
        [5]  Atik Soepandi dkk, Topeng Blantek Betawi, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta : 1993. Hal. 14
       [6]  Seorang Tokoh pelestari Topeng Blantek di pangker group.
       [7] Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI, Ragam Seni Budaya Betawi, cetakan I, Jakarta: Fakultas Ilmu Pengtahuan Budaya, 2012. Hal. 99-100

Tidak ada komentar:

Posting Komentar