Sabtu, 28 Mei 2016

TOPENG BLANTEK DI KAMPUNG BETAWI

(STUDI KASUS : SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG) 
 
SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008 KONSENTRASI ASIA TENGGARA PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 
JAKARTA 1437 H/ 2016 M.
 
1.    Bahasa Masyrakat Betawi
Bahasa Betawi merupakan salah satu variasi bahasa Melayu lokal yang berjumlah puluhan di Indonesia, sedangkan bahasa Melayu sendiri juga hanya satu anggota dari ratusan bahasa daerah yang hidup di Indonesia. Untuk mengenal lebih baik tempat bahasa  Betawi diantara bahasa lokal lainnya, baik sebagai salah satu anggota bahasa Melayu lokal, maupun dalam hubungan bahasa  Melayu dengan ratusan bahasa daerah lainnya.[1]
Masyarakat Indonesia terbagi-bagi berdasarkan kelompok-kelompok suku dan bahasa. Tiap anggota kelompok biasanya bersifat dwibahasawan atau multibahasawan. Misalnya, orang Madura selain mengusai bahasa Madura, juga dapat berbahasa Indonesia. Demikian juga masyarakat Jakarta, seorang penduduk asli yang turun-temurun tidak meninggalkan Jakarta mengusai melayu lokal, dalam hal ini Melayu Betawi.[2] Disamping itu juga bahasa nasional Indonesia, ia juga seorang dwibahasawan.untuk sebagaian masyarakat Jakarta pendatang, khususnya yang masih mempunyai hubungan yang jelas dengan suku asalnya, ia masih juga menguasai bahasa sukunya atau bahasa lokal,  tempat asalnya disamping bahasa Betawi dan bahasa nasional Indonesia, jadi ia seorang multibahasawan.
Bahasa  Betawi tentu mempunyai perbedaan dengan dialek-dialek areal Melayu lainnya, seperti dengan dialek Melayu Manado. Lalu karena wilayah penggunaan dialek Melayu Betawi ini cukup luas, dari Tanggerang disebelah barat, ciputat dan Gandaria disebelah selatan, Bekasi-Tambun disebelah timur dan pantai utara Jakarta di sebelah utara, maka bahasa Betawi ini pun mempunyai  perbedaan baik dalam lafal maupun dalam sejumlah kosakata.seperti dalam tabel berikut :

Bentuk Kata
Pelafalan
Dekat
Deket
Apa
apa, ape, apah
Murah
mure, mura, murah
Kerbau
kebo
Tapai
tape
Hitam
item
Hutan
utan
Subuh
subu
Hakim
Hakim
Kenyang
Kenyang












Beberapa macam logat[3] dan bunyi bahasa Betawi . dewasa ini, Jakarta dan sekitarnya habis di obrak-abrik untuk pembangunan dan penduduk Betawi sudah habis kocar-kacir dari tenmpat semula. Namun, adanya logat-logat itu masih bisa ditemukan di sembarang tempat di wilayah Jakarta  dan sekitarnya.[4] Bahasa Betawi tampaknya lebih sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan (kolokial) daripada bahasa tulis. Kalau orang Betawi menulis apalagi yang bersifat formal dia akan berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Namun bahasa lisan atau percakapan masyarakat Betawi kita banyak mendapati bentuk-bentukkontraksi, yakni bentuk sebagai hasil penggabungan dua buah kata atau lebih. Misalnya, bentuk-bentuk berikut :

Bentuk Kontraksi
Bentuk Utuh
Kullima
pukul lima
Sengatuju
setengah tujuh
Sabanari
saban hari
Kanasin
ikan asin
Gakade
enggak ade

Dalam sejarah perkembangan bahasa Betawi banyak menerima sumbangan kosakata dari bahasa Arab, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Cina dan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Yang harus pertama diingat sebelum berbahasa percakapan non-formal daripada bahasa percakapan formal. Percakapan non-formal. Bagi orang Betawi menggunakan bahasa Betawi itu merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama mereka.
Pada masa pra Sumpah Pemuda bahasa Indonesia yang masih disebut bahasa Melayu menjadi alat komunikasi atau bahasa yang sering dipergunakan di dalam pergaulan sehari-hari antara suku-suku bangsa Indonesia atau antara bangsa Indonesia dan bangsa asing sehingga bahasa Melayu adalah menjadi semacam jembatan yang mengakrabkan pergaulan dan memesrakan hubungan antara suku-suku bangsa dari berbagai daerah Indonesia.[5]
Perkembangan selanjutnya terdapat gaya berbahasa Indonesia dengan campuran bahasa Betawi yang disebut "Prokem betawi". Gaya berbahasa ini tidak hanya diucapkan dalam obrolan santai, melainkan telah masuk dalam media surat menyurat seperti gini atau dong, sih serta kata deh. Bahkan media surat kabar yang terbit di Jakarta pun terpengaruh juga dengan prokem Betawi.


       [1] Muhadjir Ed, Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Hal 5
       [2] Ibid. hal 9
       [3] Menurut catatan Chaer 1976 dan 2009, ada empat macam variasi lafal dari empat macam subdialek, sebut saja  logat. Logat pertama dulu dituturkan oleh penduduk Betawi daerah Petamburan dan Tanah Abang. ,mereka  melafalkan bunyi {a} atau {ah} pada akhir kata menjadi bunyi {ə}, logat yang kedua dulu dituturkan oleh penduduk Betawi di dearah Jatinegara, Kemayoran dan Kebun Sirih. Mereka melafalkan bunyi {a} atau {ah} pada akhir kata menjadi bunyi {è}, kemudian, logat keempat yang dulu dituturkan oleh penduduk Betawi di daerah Karet dan Kuningan. Mereka melafalkan bunyi {a}  pada akhir kata menjadi bunyi {è} dan melafalkan bunyi {ah} pada akhir kata menjadi bunyi {a}dan yang terakhir logat keempat dulu dituturkan di daerah pinggiran yang sangat luas dari Tanggerang, Ciputat, Gandaria, Pondok Gede dan Bekasi. Mereka tidak mengenal bunyi {è}.
       [4] Abdul Chaer, Folklor  Betawi  Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, Jakarta: Masup Jakarta, 2001.hal 14-15
    [5] http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/89/Bahasa-Betawi di akses pada tanggal 29 mei 2016 04:08 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar