Sabtu, 28 Mei 2016

TOPENG BLANTEK DI KAMPUNG BETAWI

(STUDI KASUS : SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG) 
 
SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008 KONSENTRASI ASIA TENGGARA PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 
JAKARTA 1437 H/ 2016 M.
 
 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Masyarakat Betawi pada awalnya campuran dari orang Sunda. Sebelum abad ke-16 pada masa kerajaan Tarumanegara serta Pakuan panjajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai Pulau Indonesia, dari Malaka di Semananjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat. Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol[1] yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata “Batavia” yaitu nama Jakarta yang diberikan oleh Belanda.
            Masyarakat Betawi merupakan suatu kelompok masyarakat dengan identitas etnis dan budaya yang terbentuk berdasarkan perpaduan beberapa suku bangsa dengan budaya dan adat istiadat yang berbeda. Dari masa ke masa masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri budaya yang kian hari kian mapan sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain. Untuk kepercayaan masyarakat betawi sebagian besar menganut agama Islam, Islam memang sejak lama telah mewarnai kehidupan penduduk Batavia. Ada tiga fase yang menunjukkan eksistensi Islam di Batavia, pertama saat Sunda Kelapa berhasil ditaklukkan oleh Fatahillah.
            Pada fase itu seluruh kehidupan sosial, ekonomi, politik di Jayakarta didasari pada ajaran Islam dan mendapat pengawasan langsung dari Kesultanan Cirebon.[2] tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
            Kedua, sejak banyaknya masjid dan pusat-pusat kegiatan Islam yang didirikan pada abad ke 18.[3] Selain menggambarkan perkembangan Islam di Batavia, masjid-masjid itu juga menggambarkan adanya percampuran berbagai kelompok etnis yang menjadi landasan bagi munculnya kelompok etnis baru yang kemudian mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Islam di Batavia.[4] Masjid-masjid tua di Jakarta banyak bangunan arsitekturnya dibuat oleh berbagai kelompok etnis dan bangsa. Arsitektur bangunan masjid mengadopsi tiga kebudayaan, yakni Betawi, Cina dan Hindu Jawa.[5]
Ketiga, semakin populernya penggunaan bahasa melayu Betawi pada abad ke 19, yang disebabkan karena menghilangnya pengaruh bahasa Portugis Mardijker. Sepertinya penggunaan bahasa melayu betawi ini berkaitan erat dengan proses Islamisasi orang Betawi. Mereka bukan saja menggunakan bahasa melayu menjadi bahasa komunikasi sehari-hari masyarakat Betawi, akan tetapi mereka telah mengadopsi Islam sebagai pandangan hidup.[6]
Terkait dengan kebudayaan Betawi dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, musik ini masuk keindonesia pada abad ke-17.[7] Di Jakarta, musik ini sangat digemari oleh masyarakat Tugu di Jakarta Utara. Jenis musik ini lah yang menjadi cikal bakal Keroncong asli Betawi.Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, dan Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Topeng Betawi, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki bermacam-macam seni, selain seni musik ada juga drama rakyat , beberapa bentuk drama rakyat Betawi yang masih hidup sampai sekarang ialah Wayang Golek, Lenong, Topeng Betawi, dan sebagainya. Tujuan dari drama rakyat itu selain menghibur juga untuk melahirkan ekspresi dan aspriasi kolektif yang sesuai dengan system nilai budaya para pedukungnya. Karena itu tidak jarang dalam pementasan drama rakyat terdapat kebobrokan moral dalam rumah tangga dan masyarakat melalui adegan-adegan yang di pentaskan.[8]
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Sehingga banyak menciptakan sebuah seni yang berbagai macam asal campuran dari berbagai etnis dan bangsa dahulunya.
Rafael Raga menjelaskan bahwa “Seni budaya merupakan hasil dan sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok dan nantinya menjadi ciri khasnya kelompok tersebut. Dalam hal ini kelompok yang dimaksud adalah komunitas etnis masyarakat Betawi.” [9] Dan Topeng Blantek, diakui menjadi cikal bakal dari kesenian budaya betawi seperti gambang kromong, samrah, lenong dan lain sebagainya. Tapi, minimnya dukungan pemerintah dan sepinya kegiatan pertunjukkan membuat kesenian Topeng Blantek nyaris tak populer lagi dimasyarakat[10].
Topeng Blantek merupakan teater rakyat Betawi yang kini hampir tidak dikenal masyarakat luas. Hanya sebagian masyarakat Betawi yang mengetahui teater rakyat Topeng Blantek. Banyak pula artikel dan pendapat-pendapat yang berbeda tentang Topeng Blantek, bahkan terdapat perbedaan pendapat tentang definisi dan sejarah singkat Topeng Blantek. Asal-usul nama kesenian ini berasal dari dua kata, yaitu Topeng dan Blantek. Istilah Topeng berasal dari bahasa Cina di zaman Dinasti Ming. Topeng asal kata dari To dan Peng. To artinya sandi dan Peng artinya wara. Oleh karena itu, Topeng bila dijabarkan berarti sandiwara. Sedangkan untuk kata Blantek ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari bunyi-bunyian musik yang mengiringinya. Yaitu satu rebana biang, dua rebana anak dan satu kecrek yang menghasilkan bunyi, ‘blang-blang tek-tek’. Namun, karena lidah lokal ingin enaknya saja dalam penyebutan, maka muncullah istilah Blantek. Pendapat lainnya mengatakan, asal nama Blantek berasal dari bahasa Inggris, yaitu blindtext yang berarti buta naskah.
Menurut Nasir Mupid seniman Topeng Blantek Fajar Ibnu Sena Pesanggrahan, Jakarta Selatan bahwa Topeng Blantek merupakan induk dari teater rakyat Betawi, karena Topeng Blantek memiliki apresiasi seni yang terdapat di teater rakyat Betawi lainnya. Misalnya seni tari, seni musik, dan drama. Asal mula Topeng Blantek menjadi sebuah pertunjukan berawal dari para pedagang di jajaran wilayah Jakarta di mana terdapat suku Betawi. Para pedagang tersebut yang memperjualkan dagangannya melalui celoteh-celoteh (kata-kata).
Dan tutur kata yang diucapkannya itu, kemudian menjadi sebuah pertunjukan. Pedagang-pedagang tersebut kebanyakan berasal dan kalangan ahli agama Islam yang akhirnya mempergunakan Topeng Blantek sebagai penyebaran agama Islam dan dakwah-dakwah kepada masyarakat.[11]
Marhasan, tokoh pelestari Topeng Blantek Pangker Group Semanan, Jakarta Barat mengatakan bahwa permainan Blantek dahulu kala tidak memakai naskah dan sutradara hanya memberikan gagasan-gagasan garis besar dari cerita yang akan dimainkan”[12]
Masih menurut keterangan Marhasan; surutnya kesenian Pertunjukan Topeng Blantek juga dikarenakan adanya kesenian-kesenian tradisional Betawi lainnya seperti lenong, topeng Betawi, samrah, gambang kromong dan lain sebagainya. Walau begitu, sebetulnya Topeng Blantek ini sempat berusaha dimunculkan kembali oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1972.
Kesenian ini dikembangkan dan ditampilkan ke depan publik oleh Ras Barkah.majunya budaya  suatu bangsa dapat dipastikan majunya bangsa itu, salah satu elemn penting penunjang budaya adalah tumbuh kembangnya kesenian. Dengan kata lain, menghidupkan seni, memajukan bangsa. Kita Sebagai anak bangsa mempunyai kewajiban  untuk terus eksis dalam berkesenian demi mempertahankan dan menembangkan kesenian Betawi, khususnya Topeng Blantek salah satu seni teater rakyat Betawi. Tentunya kita semua harus lebih peduli dengan kelestarian budaya sendiri.
Hanya saja, kondisi kesenian Topeng Blantek kian mengkhawatirkan, terutama sepeninggal Ras Barkah pada tahun 2007.  Upaya melestarikan Topeng Blantek mulai terkendala modal dan sulitnya mencari generasi penerus serta diperparah dengan tak adanya perhatian dari pemerintah untuk turut melestarikan kesenian Topeng Blantek. Akibatnya, satu-persatu sanggar-sanggar tersebut berguguran. Hingga saat ini untuk wilayah Jakarta Barat saja hanya tersisa empat sanggar. Keempat sanggar tersebut pun dalam keadaan yang tidak begitu bagus; dua di antaranya nyaris bubar, sementara dua lainnya, yaitu Panker Group dan Ibnu Sina relayif masih berlatih secara rutin. 
Oleh karena itu, penulis mengangkat tema “Topeng Blantek di Kampung Betawi“ dengan tujuan untuk memberikan informasi tentang Seni Pertunjukan Topeng Blantek dengan harapan agar kesenian ini tidak terus mengalami kemunduran hingga kepunahan Sebab menurut penulis, Seni Pertunjukan Topeng Blantek ini sangat menarik sebagai media dakwah atau penyebaran agama Islam, didalam lakon para pemainnya terdapat unsur atau nilai-nilai keislaman dan menyinggung masalah sosial yang ada.
Dengan  studi kasus Pertunjukan Topeng Sanggar Seni Blantek Fajar Ibnu Sena Pimpinan Nasir, di Jl. Ciledug Raya Ulujami Pesanggrahan Jakarta Selatan, Sanggar Seni ini didirikan pada tahun 1983. penulis mencoba mencari informasi yang berkaitan dengan Seni Pertunjukan Topeng Blantek khususnya pada saat Ras Barkah dan keeksisannya kesenian Topeng Blantek dibawah naungan Sanggar Fajar Ibnu Sena.


          [1]Beberapa perbedaan kosa kata bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Indonesia dalam teks ilmiah, Bahasa Melayu sudah lama dikenal sebagai bahasa antarsuku bangsa khususnya di Indonesia. Dalam perkembangannya terutama kawasan-kawasan berpenduduk bukan Melayu dan mempunyai bahasa masing-masing, bahasa Melayu mengalami proses pidginisasi dengan berbaurnya berbagai unsur bahasa setempat ke dalam bahasa Melayu dan karena dituturkan oleh anak-anaknya, bahasa Melayu mengalami proses Kreolisasi.  Bahasa Melayu, khususnya di Indonesia Timur diperkenalkan pula oleh para misionaris asal Belanda untuk kepentingan penyebaran agama Kristen. Di pulau Jawa, terutama di Jakarta, bahasa Melayu mengalami proses kreolisasi yang unsur dasar. bahasa Melayu Pasartercampur dengan berbagai bahasa di sekelilingnya, khususnya bahasa Tionghoabahasa Sundabahasa Jawabahasa Bali,bahasa Bugis, bahkan unsur bahasa Belanda dan bahasa Portugis. Melayu dalam bentuk kreol ini banyak dijumpai di Kawasan Indonesia Timur yang terbentang dari Manado hingga Papua.
        [2] Muhammad ZafarIqbal, Islam di Jakarta Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi, (Jakarta : Disertasi Program PascaSarjanaIAIN, tidak diterbitkan 2002), h.iii.
       [3] Abdul Azis, Islam dan Masyarakat Betawi,  Jakarta: LP3S, 2002, h.45.
       [4]Masjid pertama yang didirikan adalah Masjid Al-mansur di Kampung Sawah, Jembatan Lima pada tahun 1777, lalu Masjid Pekojan yang didirikan di Perkampungan Arab pada tahun 1755, pada tahun 1761 berdiri Masid Kampung Angke di perkampungan orang-orang bali tinggal, kemudian masjid Kebon Jeruk yang didirikan oleh peranakan Cina Islam tahun 1786, dan masjid yang didirikan orang-orang Banda di Kampung Banda tahun 1789. 
       [5] Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, Jakarta, APPM, 2006, Hal. 57
       [6]Catatan seorang pelancong dari Surakarta Raden Arya Sastradarma yang menuliskan pengalamannya selama di Batavia pada tahun 1870 dalam buku berjudul “Kawontenan Ing Nagari Batawi”. Ia menemukan bahwa penduduk umumnya berbahasa melayu dalam percakapan sehari-hari dan mereka menyebut dirinya dengan sebutan orang Islam.
       [7]Emot Rahmat Taendiftia et. al, Gado-Gado Betawi : Masyrakat Betawi dan Ragam Budayanya, Jakarta: Grasindo, 1996. Hal 21
       [8] Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, Jakarta, APPM, 2006, Hal.135-136
       [9] Rafael Raga Maran, ManusiadanKebudayaanDalamPersfektifIlmuBudayaDasar, Jakarta, RinekaCipta, 2007, Hal 103
       [10]Abdul aziz, Teater Seni Pertunjukan Betawi diambil dari http://Poskobudayaswadarma.blog.com/teater/ (diakses pada 28-12-2014 15:37)
       [11]Ungkapan dariNasir Mupid di jurnal : jurnalsenibudayajakarta.blogspot.com/2013/10/apresiasi-seni-budaya-topeng-blantek.html(diakses pada diakses pada 28-12-2014 15:37)
       [12] Dikutip dari berita jakarta : (http://www.beritajakarta.com, 2008.2-2-2012). Diakses pada 28-12-2014 15:37
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar