(STUDI KASUS : SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG)
SKRIPSI
Fakultas Adab dan Humaniora Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) An.
HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008
KONSENTRASI ASIA TENGGARA PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN
ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA 1437 H/ 2016 M.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masyarakat
Betawi pada awalnya campuran dari orang Sunda. Sebelum abad ke-16 pada masa kerajaan Tarumanegara
serta Pakuan panjajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan
pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai Pulau Indonesia, dari Malaka
di Semananjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat. Kata Betawi
digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu
Kreol[1]
yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata “Batavia” yaitu
nama Jakarta yang diberikan oleh
Belanda.
Masyarakat
Betawi merupakan suatu kelompok masyarakat dengan identitas etnis dan budaya
yang terbentuk berdasarkan perpaduan beberapa suku bangsa dengan budaya dan
adat istiadat yang berbeda. Dari masa ke masa masyarakat Betawi terus
berkembang dengan ciri budaya yang kian hari kian mapan sehingga mudah
dibedakan dengan kelompok etnis lain. Untuk
kepercayaan masyarakat betawi sebagian besar
menganut agama Islam, Islam memang sejak lama telah mewarnai kehidupan penduduk
Batavia. Ada tiga fase yang menunjukkan eksistensi Islam di Batavia, pertama
saat Sunda Kelapa berhasil ditaklukkan oleh Fatahillah.
Pada
fase itu seluruh kehidupan sosial, ekonomi, politik di Jayakarta didasari pada
ajaran Islam dan mendapat pengawasan langsung dari Kesultanan Cirebon.[2]
tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya
sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang
menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja
Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun
benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas
Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap
di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Kedua,
sejak banyaknya masjid dan pusat-pusat kegiatan Islam yang didirikan pada abad
ke 18.[3]
Selain menggambarkan perkembangan Islam di Batavia, masjid-masjid itu juga
menggambarkan adanya percampuran berbagai kelompok etnis yang menjadi landasan
bagi munculnya kelompok etnis baru yang kemudian mengidentifikasikan diri
mereka sebagai orang Islam di Batavia.[4] Masjid-masjid tua di Jakarta banyak bangunan
arsitekturnya dibuat oleh berbagai kelompok etnis dan bangsa. Arsitektur
bangunan masjid mengadopsi tiga kebudayaan, yakni Betawi, Cina dan Hindu Jawa.[5]
Ketiga,
semakin populernya penggunaan bahasa melayu Betawi pada abad ke 19, yang
disebabkan karena menghilangnya pengaruh bahasa Portugis Mardijker. Sepertinya
penggunaan bahasa melayu betawi ini berkaitan erat dengan proses Islamisasi
orang Betawi. Mereka bukan saja menggunakan bahasa melayu menjadi bahasa
komunikasi sehari-hari masyarakat Betawi, akan tetapi mereka telah mengadopsi
Islam sebagai pandangan hidup.[6]
Terkait dengan
kebudayaan Betawi dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni
Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, musik ini masuk keindonesia pada abad ke-17.[7]
Di Jakarta, musik ini
sangat digemari oleh masyarakat Tugu di Jakarta Utara. Jenis musik ini lah yang
menjadi cikal bakal Keroncong asli Betawi.Tanjidor yang
berlatarbelakang ke-Belanda-an, tetapi juga
ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, dan Gambang
Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa. Saat ini Suku Betawi terkenal
dengan seni Lenong, Topeng Betawi, Rebana
Tanjidor dan Keroncong.
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara
umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang
berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki bermacam-macam seni, selain
seni musik ada juga drama rakyat , beberapa bentuk drama rakyat Betawi yang
masih hidup sampai sekarang ialah Wayang Golek, Lenong, Topeng Betawi, dan
sebagainya. Tujuan dari drama rakyat itu selain
menghibur juga untuk melahirkan ekspresi dan aspriasi kolektif yang sesuai
dengan system nilai budaya para pedukungnya. Karena itu tidak jarang dalam
pementasan drama rakyat terdapat kebobrokan moral dalam rumah tangga dan
masyarakat melalui adegan-adegan yang di pentaskan.[8]
Secara
biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin
antaretnis dan bangsa di masa lalu. Sehingga
banyak menciptakan sebuah seni yang berbagai macam asal campuran dari berbagai
etnis dan bangsa dahulunya.
Rafael Raga
menjelaskan bahwa “Seni budaya merupakan hasil dan sebuah kebiasaan yang
dilakukan oleh seseorang maupun kelompok dan nantinya menjadi ciri khasnya
kelompok tersebut. Dalam hal ini kelompok yang dimaksud adalah komunitas etnis
masyarakat Betawi.” [9] Dan Topeng Blantek, diakui menjadi cikal bakal dari kesenian
budaya betawi seperti gambang kromong, samrah, lenong dan lain sebagainya.
Tapi, minimnya dukungan pemerintah dan sepinya kegiatan pertunjukkan membuat
kesenian Topeng Blantek nyaris tak populer lagi dimasyarakat[10].
Topeng Blantek
merupakan teater rakyat Betawi yang kini hampir tidak dikenal masyarakat luas.
Hanya sebagian masyarakat Betawi yang mengetahui teater rakyat Topeng Blantek.
Banyak pula artikel dan pendapat-pendapat yang berbeda tentang Topeng Blantek,
bahkan terdapat perbedaan pendapat tentang definisi dan sejarah singkat Topeng
Blantek. Asal-usul nama kesenian ini berasal dari dua kata, yaitu Topeng dan
Blantek. Istilah Topeng berasal dari bahasa Cina di zaman Dinasti Ming. Topeng
asal kata dari To dan Peng. To artinya sandi dan Peng artinya wara. Oleh karena
itu, Topeng bila dijabarkan berarti sandiwara. Sedangkan untuk kata Blantek ada
beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari bunyi-bunyian musik yang
mengiringinya. Yaitu satu rebana biang, dua rebana anak dan satu kecrek yang
menghasilkan bunyi, ‘blang-blang tek-tek’. Namun, karena lidah lokal ingin
enaknya saja dalam penyebutan, maka muncullah istilah Blantek. Pendapat lainnya
mengatakan, asal nama Blantek berasal dari bahasa Inggris, yaitu blindtext yang
berarti buta naskah.
Menurut Nasir
Mupid seniman Topeng Blantek Fajar Ibnu Sena Pesanggrahan, Jakarta Selatan
bahwa Topeng Blantek merupakan induk dari teater rakyat Betawi, karena Topeng
Blantek memiliki apresiasi seni yang terdapat di teater rakyat Betawi lainnya.
Misalnya seni tari, seni musik, dan drama. Asal mula Topeng Blantek menjadi
sebuah pertunjukan berawal dari para pedagang di jajaran wilayah Jakarta di
mana terdapat suku Betawi. Para pedagang tersebut yang memperjualkan
dagangannya melalui celoteh-celoteh (kata-kata).
Dan tutur kata
yang diucapkannya itu, kemudian menjadi sebuah pertunjukan. Pedagang-pedagang
tersebut kebanyakan berasal dan kalangan ahli agama Islam yang akhirnya
mempergunakan Topeng Blantek sebagai penyebaran agama Islam dan dakwah-dakwah
kepada masyarakat.[11]
Marhasan,
tokoh pelestari Topeng Blantek Pangker Group Semanan, Jakarta Barat mengatakan
bahwa permainan Blantek dahulu kala tidak memakai naskah dan sutradara hanya
memberikan gagasan-gagasan garis besar dari cerita yang akan dimainkan”[12]
Masih menurut
keterangan Marhasan; surutnya kesenian Pertunjukan Topeng Blantek juga
dikarenakan adanya kesenian-kesenian tradisional Betawi lainnya seperti lenong,
topeng Betawi, samrah, gambang kromong dan lain sebagainya. Walau begitu,
sebetulnya Topeng Blantek ini sempat berusaha dimunculkan kembali oleh Gubernur
Ali Sadikin pada 1972.
Kesenian ini
dikembangkan dan ditampilkan ke depan publik oleh Ras Barkah.majunya budaya suatu bangsa dapat
dipastikan majunya bangsa itu, salah satu elemn penting penunjang budaya adalah
tumbuh kembangnya kesenian. Dengan kata lain, menghidupkan seni, memajukan
bangsa. Kita Sebagai anak bangsa mempunyai kewajiban untuk terus eksis dalam berkesenian demi
mempertahankan dan menembangkan kesenian Betawi, khususnya Topeng Blantek salah
satu seni teater rakyat Betawi. Tentunya kita semua harus lebih peduli dengan
kelestarian budaya sendiri.
Hanya saja,
kondisi kesenian Topeng Blantek kian mengkhawatirkan, terutama sepeninggal Ras
Barkah pada tahun 2007. Upaya melestarikan Topeng Blantek mulai
terkendala modal dan sulitnya mencari generasi penerus serta diperparah dengan
tak adanya perhatian dari pemerintah untuk turut melestarikan kesenian Topeng
Blantek. Akibatnya, satu-persatu sanggar-sanggar tersebut berguguran. Hingga saat
ini untuk wilayah Jakarta Barat saja hanya tersisa empat sanggar. Keempat
sanggar tersebut pun dalam keadaan yang tidak begitu bagus; dua di antaranya
nyaris bubar, sementara dua lainnya, yaitu Panker Group dan Ibnu Sina relayif
masih berlatih secara rutin.
Oleh karena
itu, penulis mengangkat tema “Topeng Blantek di
Kampung Betawi“ dengan tujuan untuk memberikan informasi
tentang Seni Pertunjukan Topeng Blantek dengan harapan agar kesenian ini tidak
terus mengalami kemunduran hingga kepunahan Sebab menurut
penulis, Seni Pertunjukan Topeng Blantek ini sangat menarik sebagai media dakwah atau
penyebaran agama Islam, didalam lakon para pemainnya
terdapat unsur atau nilai-nilai keislaman dan menyinggung masalah sosial yang ada.
Dengan studi
kasus Pertunjukan Topeng Sanggar
Seni Blantek Fajar Ibnu Sena Pimpinan Nasir, di Jl. Ciledug Raya Ulujami Pesanggrahan
Jakarta Selatan, Sanggar Seni ini didirikan pada tahun 1983. penulis mencoba
mencari informasi yang berkaitan dengan Seni Pertunjukan Topeng Blantek khususnya
pada saat Ras Barkah dan keeksisannya kesenian Topeng Blantek dibawah naungan
Sanggar Fajar Ibnu Sena.
[1]Beberapa
perbedaan kosa kata bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Indonesia dalam teks
ilmiah, Bahasa Melayu sudah lama dikenal sebagai
bahasa antarsuku bangsa khususnya di Indonesia. Dalam perkembangannya terutama
kawasan-kawasan berpenduduk bukan Melayu dan mempunyai bahasa masing-masing,
bahasa Melayu mengalami proses pidginisasi dengan berbaurnya berbagai
unsur bahasa setempat ke dalam bahasa Melayu dan karena dituturkan oleh
anak-anaknya, bahasa Melayu mengalami proses Kreolisasi. Bahasa
Melayu, khususnya di Indonesia Timur diperkenalkan pula oleh para misionaris
asal Belanda untuk
kepentingan penyebaran agama Kristen. Di pulau Jawa, terutama di Jakarta, bahasa
Melayu mengalami proses kreolisasi yang unsur dasar. bahasa
Melayu Pasartercampur dengan berbagai bahasa di sekelilingnya, khususnya bahasa
Tionghoa, bahasa
Sunda, bahasa
Jawa, bahasa
Bali,bahasa
Bugis,
bahkan unsur bahasa
Belanda dan bahasa
Portugis. Melayu dalam bentuk kreol ini banyak dijumpai di
Kawasan Indonesia Timur yang terbentang dari Manado hingga Papua.
[4]Masjid
pertama yang didirikan adalah Masjid Al-mansur di Kampung Sawah, Jembatan Lima
pada tahun 1777, lalu Masjid Pekojan yang didirikan di Perkampungan Arab pada
tahun 1755, pada tahun 1761 berdiri Masid Kampung Angke di perkampungan orang-orang
bali tinggal, kemudian masjid Kebon Jeruk yang didirikan oleh peranakan Cina
Islam tahun 1786, dan masjid yang didirikan orang-orang Banda di Kampung Banda
tahun 1789.
[6]Catatan
seorang pelancong dari Surakarta Raden Arya Sastradarma yang menuliskan
pengalamannya selama di Batavia pada tahun 1870 dalam buku berjudul “Kawontenan
Ing Nagari Batawi”. Ia menemukan bahwa penduduk umumnya berbahasa melayu dalam
percakapan sehari-hari dan mereka menyebut dirinya dengan sebutan orang Islam.
[11]Ungkapan
dariNasir Mupid di jurnal : jurnalsenibudayajakarta.blogspot.com/2013/10/apresiasi-seni-budaya-topeng-blantek.html(diakses
pada diakses pada 28-12-2014 15:37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar