Sabtu, 30 Januari 2016

FKPT Merupakan Kepanjangan Tangan BNPT RI

Deputi I BNPT RI, Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir (duduk tengah berkemeja putih)[Aziz/radarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA - Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) adalah kepanjangan tangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), artinya apa yang ingin dilakukan oleh BNPT RI dibantu oleh FKPT. Sedangkan Kelompok Diskusi Pencegahan Terorisme (KDPT) adalah kepanjangan tangan dari FKPT dan hanya baru ada di Provinsi DKI Jakarta, sedangkan Provinsi lain belum terbentuk.

Demikian Deputi I BNPT RI, Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir mengemukakan disela membuka kegiatan Rapat Kerja (Raker I) FKPT DKI Jakarta (27-28/01) di Indonesian Peace Security Center (IPSC) Sentul, Jawa Barat. Turut hadir Direktur Pencegahan BNPT RI, Brigjen Pol Drs. H. Hamidin, Ketua FKPT DKI Jakarta, H. Zainal Musappa, MM, serta Satgasus dan KDPT se DKI Jakarta.

Dijelaskannya, tantangan besar bagi kita bangsa Indonesia adalah ancaman radikalisme dan terorisme, mengingat kejadian kemarin bom di Sarinah MH Thamrin Jakarta Pusat dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Perlu disadari bahwa hal tersebut adalah bukti semua teror dapat terjadi kapan saja. Ancaman selalu ada kapan saja dan terjadi dimana saja.

“Hal itu ada pesan yang akan disampaikan, dulu terror besar berdampak besar dan sekarang terror kecil berdampak besar. Sebagai bagian dari pesan keberadaan teroris itu ada,” jelasnya.

Menurutnya, kita semua mempunyai kewajiban untuk mencegah aksi terorisme yang mengancam NKRI. Dan mudah-mudahan kegiatan Raker I FKPT DKI Jakarta tahun 2016 ini akan berjalan lancer. Setiap melaksanakan kegiatan perlu persiapan dan perencanaan yang bagus dan sudah barang tentu akan menghasilkan sesuatu yang bagus.

“BNPT RI sangat mengapresiasi kegiatan ini dan Insya Allah pada bulan Februari 2016 nanti BNPT RI akan melaksanakan Rapar Kerja Nasional (Rakernas), mudah-mudahan lancar. Amin,” harapnya. (ziz)

Indonesia menjadi contoh penanganan teroris tercepat di dunia


 
Written by 
Sentul-KoPi| Direktur Pencegahan BNPT RI, Brigjen Pol Drs. H. Hamidin menegaskan bahwa bangsa Indonesia perlu merasa bangga dengan rekor penanganan teroris tercepat di dunia. Aksi terorisme di Sarinah dan Jl HM Thamrin beberapa waktu lalu hanya membutuhkan waktu 22 menit untuk mengatasinya. 
“Bahkan untuk investigasi terorisme, dunia belajar kepada Indonesia,” tegasnya di sela paparannya yang berjudul “Penanganan Terorisme Di Indonesia” kepada peserta Satgasus dan KDPT se-DKI Jakarta dalam kegiatan Rapat Kerja I FKPT DKI Jakarta (27-28/01), di Indonesian Peace Security Center (IPSC) Sentul, Jawa Barat.

Hamidin juga menyatkan bahwa dalam penanganan terorisme harus tegas dan piawai memonitor perencanaan aksi-aksi terror. Sebab perekrutan anggota teroris kini tertuju kepada usia rawan generasi muda , remaja usia 21 tahun s.d 30 tahun (47,3 %).

“Terutama sekali pola perekrutan melalui teknologi media sosial,” jelasnya.


Menurut Hamidin saat ini terdapat 7 organisasi pendukung ISIS yang masing-masing dikoordinir oleh 3 pemimpin besar, yaitu Aman Abdurrahman, Abu Bakar Baasyir, dan Santoso. Oleh karena itu penting mewaspadai beberapa faktor terjadinya aksi terorisme, diantaranya adalah ideologi, dendam, ekonomi, konflik perbedaan pandangan.

Selain itu, Direktur BNPT ini juga mengungkapkan beberapa kasus teror yang belum terungkap.

Ada beberapa kasus teroris yang belum terungkap, yaitu aksi teror pimpinan Zulkarnain (tokoh senior), 26 yang sedang dicari, 5 orang suku igur (imigran Thailand) yang tergabung dalam kelompok Santoso,” terangnya.| Aziz

Minggu, 24 Januari 2016

Tata Rias Panggung



Tata rias (make up) ialah yang biasa digunakan untuk kelengkapan panggung juga film dan televise. Berawal dari sebuah pemujaan kepada dewa-dewa pada zaman Yunani yang diungkapkan dengan menggunakan topeng-topeng untuk mencapai karakter yang diinginkan. Pada zaman itu penerangan masih menggunakan api dan obor, karena listrik belum ada. Namun putra-putri raja saat itu sudah mengenal tat arias. Sangat dirahasiakan keberadaan dan kegunaannya, sekalipun masih dengan tekhnik primitive dan tradisional. Contohnya pada zaman Mesir kuno Ratu Cleopatra Nevertiti sudah mencoba menggunakan garis-garis warna pada mata untuk mempercantik diri. Mengapa dirahasiakan?
Karena mereka ingin selalu dianggap lain dari manusia biasa, seolah-olah mereka adalah golongan Tuhan atau dewa-dewi. Perkembangan tata rias selanjutnya dalam penggunaannya lebih sederhana tapi masih datar, dengan cara memakai garis tunggal untuk menjelaskan (menonjolkan) bentuk-bentuknya, terutama pada bagian mata.
Setelah adanya listrik yang ditemukan oleh Thomas Alva Edison, tata rias berkembang pesat. Dipelajari adanya cahaya dan juga bayangan yang terefleksi pada benda-benda. Cahaya dan bayangan sangat penting dalam mempelajari ilmu tat arias wajah. Perias wajah harus mampu menciptakan bentuk dengan bantuan cahaya serta bayangan (sadowa). Dan terang baying digunakan untuk mengelabui pandangan mata. Terang baying dapat dimainkan dengan sesuka hati, namun harus tetap mengikuti atau mengenal anatomi tengkorak wajah. Ini diperlukan agar proporsi garis tulang wajah terlihat proporsiaonal. Untuk membuat (memberikan) warna terang pada tat arias wajah, itu diperlukan untuk menghasilkan tonjolan (tampak kedepan). Sebaliknya, untuk membuat kesan kedalam (cekung) dipergunakan warn arias wajah yang gelap (bayangan). Penggunaan terang bayang yang baik atau harmonis akan mendapatkan dimensi yang ritmis.
Harus sering dilatih mengamati cahaya dan bayangan pada benda-benda yang tersinari cahaya matahari atau lampu untuk memudahkan dalam membuat tat arias yang baik sesuai keinginan. Dengan media pensil B pada kertas, diutamakan membuat garis-garis serta arsir secara gradasi. Ini akan mempermudah membuat nuansa dalam menciptakan cahaya dan bayangan pada wajah (model). Warna hitam atau gelap digunakan untuk bayangan (shadow) dan warna putih atau terang untuk cahayanya. Tata rias sangat berkaitan atau berhubungan dengan tata panggung, baik itu dalam hal keserasian warna dan bentuk kostum, artistik, cahaya warna lampu dan kebutuhan peran (karaktera) yang diperankan. Tafsir cerita adalah untuk memudahkan menentukan karakter wajah seorang tokoh cerita. Siapa, kapan, dimana?
Tata rias dibagi tiga bagian, yakni 1. Korektif make up, 2. Fantasi make up, 3. Karakter make up. Dasar-dasar pokok tat arias panggung adalah 1. Harus dikenal anatomi wajah (tengkorak kepala), 2. Harus dikenal bagaimana menggunakan cahaya dan bayangan, 3. Harus diketahui penggunaan warna yang tepat, 4. Dapat membuat garis-garis penegasan (aksentuasi) pada wajah. Dengan penguasaan dasar-dasar tersebut akan memudahkan dalam menata rias secara benar dan baik. Sebagai patokan atau acuan penggunaan terang baying sangat penting membuat suatu karakter tokoh dan dengan mengenal anatomi wajah akan mudah memoles terang baying secara pasti. Karena setiap manusia mempunyai anatomi yang berbeda. Alat-alat tat arias untuk karakter diantaranya, noes putty, latex liquid, hair white, adhesive, spirit gum, crepe hair, blood, tooth enamel, bald cup, wig.
( Sumber : Subarkah, Pelatihan Seni Teater Tingkat Dasar, UPT Balai Latihan Kesenian Asem Baris Jaksel, Tahun 2011 )

Teater Tradisi Kaya Nilai Budaya



CATATAN KEGIATAN PELATIHAN SENI BUDAYA
UP PUSAT PELATIHAN SENI BUDAYA ASEM BARIS JAKARTA SELATAN
Oleh : Abdul Aziz

Teater Tradisi Kaya Nilai Budaya

Teater tradisional kaya akan nilai-nilai budaya yang dapat menggambarkan tata cara kehidupan serta adat istiadat yang berlaku bagi bangsa Indonesia di masa lampau. Menyimpan kekayaan nilai yang mencerminkan identitas suatu bangsa. Setidaknya mempunyai nilai budaya etnik yang menggambarkan identitas daerahnya. Teater tradisional dan teater “modern” dapat dikaji, dilihat dan terasa perbedaan tersebut pada esensi tradisi dan gaya penyajian yang disajikan. 

Pada teater tradisional memanfaatkan berbagai (multi) media ekspresi yang terpadu. Cara menyajikan tidak hanya dengan laku dan dialog, tetapi dirangkum dengan gerak yang ekpresif dan disertai iringan music yang terpadu. Penyajian ditekankan tidak hanya dengan “oral” tetapi ditekankan juga pada ekspresi gerak yang selalu diiringi music yang terpadu. Teater tradisional bagi bangsa Indonesia merupakan warisan budaya bangsa, merupakan sumber, akar dari bentuk teater yang lahir sesudahnya. 

Teater non-tradisi pertama bertolak dari naskah lakon, media ekspresi yang utama ditekankan pada laku dan dialog, disertai teknis pendukung yang memadai. Penyajian ditekankan pada “oral”. Mengacu pada konsep teater barat, yaitu konsep “teknis pementasannya” dituangkan dalam teknik pemeranan yang diarahkan oleh konsep penyutradaraan, disusun diatas panggung dalam wujud visual dengan penataan artistic. Menjadi idaman bersama bahwa pada suatu saat nanti (sekarang dalam proses), akan lahir teater Indonesia yang dapat mencerminkan identitas budaya bangsa yang bersumber dari kebhinekaan budaya yang dimilki dan berakar dari teater tradisional. 

( Sumber : Budi Sobar, Pelatihan Seni Teater Tingkat Dasar, UPT Balai Latihan Kesenian Asem Baris Jaksel, Tahun 2011 )

Sabtu, 23 Januari 2016

Abdul Hadi WM

Aspek seni budaya adalah salah satu yang memegang peranan penting dalam seluruh sendi kehidupan. Seni budaya dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk spiritual. Simbol dari tingginya martabat manusia terletak pada kebajikan, kecerdasan dan kreatifitasnya. Sesudah alm Sutan Takdir Alisyahbana, barangkali selama ini Indonesia belum punya tokoh yang bisa dianggap sejajar dengannya. Itu sebabnya ada yang berpendapat bahwa jika menilik dari hasil karya dan pemikiran, tampaknya Abdul Hadi WM penyair Madura yang mungkin bisa dianggap sebagai “maestro” baru sesudah alm Sutan Takdir Alisyahbana. Diantara beberapa alasannya adalah Abdul Hadi WM sudah lebih dari 35 tahun menggeluti kesusastraan, sufisme dan khazanah intelektual nusantara. Abdul Hadi WM telah mencetak lebih dari 20 karya (buku) yang sebagian besar menjadi rujukan di bidang seni budaya dan telah banyak menelorkan ratusan puisi yang dipujikan banyak kalangan.

RA Kartini "guratan surat"



Selama ini bila RA Kartini dibicarakan, selalu dilihatnya sebagai sosok yang utuh dan transparan. Atau ia sebagai feminis dan sebagai pendekar emansipasi perempuan atau sebagai pembela rakyat atau sebagai pejuang anti-kolonial. Tapi sebelum membicarakan seseorang (dalam hal ini RA Kartini) dalam hubungannya dengan yang lain (baik dalam arti Eropa maupun seseorang lain yang secara langsung atau tidak mewakili Eropa). Hal tersebut sangatlah penting dalam membicarakan RA Kartini, karena dalam surat-suratnya bukan saja berisi pembicaraan mengenai aku dan engkau, tapi juga kepada seorang engkau yang senantiasa harus ditafsirkan dan dinegosiasi. RA Kartini adalah contoh bagaimana aku selalu merupakan subyek dalam proses. Sementara bila ditilik dengan seksama, tampaklah jelas bahwa dalam surat-surat RA Kartini kepada Stella Zeehandelar, seorang feminis dan sosialis Belanda berdarah Yahudi, jurnalis majalah mingguan Belanda untuk perempuan-perempuan muda progresif. De Hollandsche Lelie yang mempunyai hubungan kuat dengan gerakan sosialis ternama di Belanda, isi suratnya : “Panggil Saja Aku Kartini – Itu Namaku.” Disini RA Kartini menandaskan ke – aku – annya, sesuatu pada saat yang sama mengukuhkan identitas / perbedaannya, tapi melalui tatapan dan bahasa yang lain,”Yang Bukan Aku.” Hal tersebut bisa jadi semacam sarkasme, bisa murni sebuah kesatuan terhadap seorang asing yang baru saja RA Kartini kenal (apalagi dalam surat pertama), bisa juga semacam pengakuan atas inferioritas. Hanya, mengingat mutu pikiran dan sikap independen RA Kartini, rasanya lebih masuk akal apabila merupakan separuh sarkasme dibubuhi kehendak menyesuaikan diri agar lebih mudah dipahami orang di Belanda.

Jumat, 08 Januari 2016

Topeng Blantek, Topengnya Orang Betawi



Topeng-Blantek-7-cover_1432709759.jpg
Sejarah Singkat Topeng Blantek

Topeng Blantek merupakan teater rakyat Betawi yang kini hampir tidak dikenal masyarakat luas. Hanya sebagian masyarakat Betawi yang mengetahui teater rakyat Topeng Blantek.

Asal-usul nama kesenian ini berasal dari dua kata, yaitu topeng dan blantek. Istilah topeng berasal dari bahasa Tiongkok di zaman Dinasti Ming. Topeng asal kata dari to dan peng. To artinya sandi dan peng artinya wara. Kata Topeng bila dijabarkan berarti sandiwara. Sedangkan ada beberapa pendapat tentang kata Blantek. Ada yang mengatakan berasal dari bunyi-bunyian musik yang mengiringinya, yaitu rebana biang, dua rebana biang dan satu rebana kotek yang menghasilkan bunyi, ‘blang-blang tek-tek’. Namun karena pengaruh lafal lidah masyarakat lokal, munculah istilah Blantek. Pendapat lainnya mengatakan, asal nama Blantek berasal dari bahasa Inggris, yaitu blindtext, yang berarti buta naskah.

Sastra Pada Topeng Blantek

Topeng Blantek memiliki sastra dan bahasa tersendiri dalam pertunjukannya. Sastra pada Topeng Blantek ini memiliki ciri khas sebagai berikut: bahasa yang digunakan, cerita yang dibawakan, penggarapan cerita, alur cerita, dan pantun dalam pertunjukannya.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa keseharian masyarakat Jakarta yang dikenal dengan sebutan bahasa Betawi dan Sunda. Betawi memiliki daerah atau lingkungan bahasa suku kentalnya, yang terdiri dari Betawi tengah dan Betawi pinggir. Bahasa Betawi tengah cirinya setiap kata-kata yang berakhiran vokal A diganti menjadi vokal E, misalnya kata kemana menjadi kemane. Pada bahasa Betawi pinggir cirinya setiap kata-kata yang berakhiran vokal A diganti menjadi vokal AH, misalnya : kata kenapa menjadi kenapah dan orang Betawi pinggir menyingkat kata tersebut menjadi napah.

Bukan hanya bahasa Betawi pinggir saja yang digunakan oleh pelaku Topeng Blantek, terdapat pula bahasa Sunda keseharian yang kasar dalam pertunjukan Topeng Blantek, misalnya : kehet, piru yaitu cacian atau bahasa Sunda kasar yang biasa digunakan masyarakat Betawi.

Unsur-unsur Cerita Topeng Blantek antara lain:

• Cerita yang dibawakan biasanya cerita rakyat Betawi, cerita legenda Betawi (misalnya: Pitung, Jampang Mayang Sari, si Jantuk, dan lain-lain).

• Cerita yang dibawakan bisa cerita apa saja yang penting ada tokoh Jantuk yang menjadi narator atau dalang Topeng Blantek (bahkan cerita teater modern sudah sering dibawakan Topeng Blantek tetapi harus diadaptasi ulang ke dalam bentuk cerita rakyat Betawi).

• Cerita dari pertunjukan Topeng Blantek tidak memiliki naskah yang tertulis. Pada perkembangan Topeng Blantek zaman sekarang, cerita tersebut memiliki naskah yang tertulis dan naskah tersebut hanya bagian plot-plot sebagai alur cerita untuk para pemain, ada pula yang sudah menggunakan naskah tertulis dengan dialog yang rapih tetapi biasanya pemain Topeng Blantek tidak terbiasa untuk mengikuti dialog atau kata- kata yang tertulis di dalam naskah tersebut, mereka lebih terbiasa dengan improvisasi dari cerita folklore (cerita rakyat turun-temurun).

(Gambar kostum Topeng Blantek yang memiliki unsur budaya Tiongkok dan berwarna cerah)
 

(Gambar kostum pencak silat Topeng Blantek)


(Gambar Tata Rias karakter Topeng Blantek)


(Gambar Tata Rias natural Topeng Blantek)


(Gambar Topeng yang digunakan pada pertunjukan Topeng Blantek)


(Gambar Topeng tokoh Jantuk dalam Topeng Blantek)


Gaya Dan Struktur Pertunjukan Topeng Blantek

Gaya dan Struktur pertunjukan Topeng Blantek merupakan bentuk penyajian dan pertunjukan Topeng Blantek. Bentuk yang dimaksud ialah bentuk dan awal pertunjukan dimulai, hingga akhir dan pertunjukan Topeng Blantek.

Gaya dan Struktur pertunjukan Topeng Blantek:


Topeng Blantek, salah satu kesenian teater rakyat budaya Betawi yang masih tetap bertahan di kota Jakarta. Meski Topeng Blantek sifatnya selalu berubah-ubah dan berkembang, namun Topeng Blantek memiliki pakem-pekem dan bentuk dan para seniman Topeng Blantek.Untuk dapat dilestarikan dan dinikmati oleh masyarakat luas, Topeng Blantek mengikuti perkembangan pada zamannya. Kesenian Topeng Blantek ini tetap memiliki pakem-pakem dan ciri khas yang dapat dikenal oleh banyak masyarakat luas dan akan terus berkembang tanpa harus menghilangkan pakem-pakem yang sudah dibuat oleh para senimannya. (Abdul Azis)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, A. Kasim. 2006. Mengenal Teater Tradisional di Indinesia. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. 

Berita Jakarta Article “Topeng Blantek Hampir Punah” (http://www.beritajakarta.com/2OO8/id
/berita_detail.aspnNewsld=45077).

Dahana, Radhar Panca. 2000. Homo Theafricus.Magelang: Indonesia Tera.

Djarot, Slamet Rahardjo. 2008  Membangun tokoh - Constatin Stanislavski. Jakarta: PT Gramedia.

Endraswara, Surwardi. 2011. Metode Pembelajaran Drama.Yogyakarta: CAPS.

Harymawan. 1993. Dramaturgi.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

HTN Alat Pertanian Article “Panjak” (http://htn-alatpertanian.blogspot.com/2011/03/panjak)

Ruchiat, Rahmat. 1991 Asal Usul Jakarta.Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI.

Sitorus, Eka. 2003. The Art OfActing, Seni Peran Untuk Teater, Film & TV.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sastrapraja, Nurhadi. 2002. Ragam Budaya Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI.

Selasar Bahasa dan Sastra Indonesia Article “Unsur-Unsur Drama” (http://bektipatria.wordpress.com/rnateri).

Sjahrial. 2000. Seni Budaya Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI. 

Tambayong, Yapi. 2011. Akting Susah Susah Gampang, Gampang Gampang Susah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Yudiaryani. 2002. Panggung Teater Dunia. Purwoharjo, Samigaluh: Pustaka Gondho Suli. 

Tradisi Sedekah Bumi Masyarakat Lengkong


Beranda Kebudayaan Religi & Upacara Nilai & Pandangan hidup
11665696_491114781043046_8979022991149124466_n_1436498090.jpg
Sekitar tahun 1950-an ada seorang tokoh Tionghoa peranakan bernama Pek Chunyo dan tokoh pemuda Betawi bernama Bosin yang berkompromi untuk menyelenggarakan kegiatan Sedekah Bumi, dengan alasan bahwa "kita buang air di bumi, makan kita dari bumi". Di daerah Lengkong setiap tahunnya ada "kewajiban" untuk mensyukuri keberadaan manusia di bumi, dalam bentuk perayaan makan makanan hasil bumi diselingi tontonan topeng dan doa bersama. Kegiatan tersebut berlangsung hingga tahun 1952, diikuti oleh 30 kepala keluarga Lengkong, diiringi hiburan tontonan topeng grup tholay Tangerang, dilanjutkan makan dan doa bersama dengan harapan tahun berikutnya mendapatkan keberkahan.

Pada tahun 1953, tiga tahun menjelang Pemilu 1955, terjadi kekacauan di hampir semua wilayah Indonesia dan berdampak pula dengan situasi keamanan masyarakat Lengkong. Pada masa itu adalah masanya "gerombolan" atau sebuah pemberontakan dalam bentuk perampokan massal kepada masyarakat yang dilakukan oleh para "pejuang" dan "pasukan sekutu" yang menetap dan kecewa terhadap pemerintah saat itu.

Tahun 1960 amil Bosin hijrah ke Kulon Banten untuk memperdalam ilmu agama Islam di sebuah pesantren terkenal. Pek Chunyo seorang diri memimpin kegiatan Sedekah Bumi, beliau ditemani sahabat amil Bosin yang bernama Tirtonadi, seorang tokoh masyarakat Lengkong sampai tahun 1962. Tahun 1962-1965 pecahlah peristiwa "Gestok", yang disebut oleh Presiden Sukarno berarti Gerakan Satu Oktober yang digerakkan langgsung oleh "PKI" dipimpin DN Aidit. Terjadi kekacauan negeri yang mengakibatkan kegiatan Sedekah Bumi vakum. Tahun 1965 Pek Chunyo akhirnya meninggal. 


Setelah ditinggal amil Bosin ke Kulon Banten untuk belajar agama dan meninggalnya Pek Chunyo, tradisi Sedekah Bumi masyarakat Lengkong vakum hingga tahun 2000-an. Tahun 2014 tradisi Sedekah Bumi kembali digelar oleh masyarakat lengkong yang dipelopori oleh Apen, salah satu keturunan Pek Chunyo hingga tahun 2015.

Menurut Koh Apen tokoh penggerak sedekah bumi tahun 2009, 2012, 2015 di Lengkong, awal mula sedekah bumi adalah warisan adat istiadat leluhur Tionghoa yang berbaur dengan kebiasaan masyarakat Betawi di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten diselenggarakan tiap tiga tahun sekali setelah panen.

“Sedekah bumi itu adalah suatu bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat Tionghoa peranakan dan masyarakat Betawi di Lengkong, Tangerang Selatan, Banten sehabis panen, dengan menyelenggarakan makan bersama dari hasil tanaman padi, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan yang telah ditanam,” ungkapnya (9/7/2015) di kediamannya, Kampung Perigi RT. 018/05 Lengkong Karya, Serpong Utara, Tangerang Selatan, Banten.

Dijelaskannya bahwa sedekah bumi terselenggara setiap tiga tahun sekali menurut penanggalan Tionghoa, leluhur Keluarga Besar She Ghow. Sejak tahun 1950-an Pek Chunyo yang merupakan Tionghoa peranakan bersama dengan amil Bosin dan Tirtonadi dari Betawi mengungkapkan rasa syukurnya setelah panen dalam bentuk Sedekah Bumi. “Setelah ditinggalkan oleh ketiga tokoh pencetus Sedekah Bumi tersebut di tahun 1962, tradisi sedekah bumi vakum,” jelasnya. 

Tahun 1963 tradisi sedekah bumi kembali berlangsung yang dipimpin langsung oleh istri mendiang almarhum Pek Chunyo yang biasa dipanggil Ny. Kana hingga beliau meninggal tahun 1970. Memasuki tahun 1980, Koh Apen dari Jakarta hijrah ke Lengkong menemani dan mengurus orang tuanya She Ghow.

“Beliau selalu berpesan sekaligus memberikan amanat kepada kami bahwa “wajib” mengurusi makam Keluarga Besar She Ghow dan tradisi sedekah bumi, hingga akhir hayat,” tegasnya.


Pesan dan amanat tersebut terus terngiang. Pada akhirnya di tahun 1982, kami bersama tokoh masyarakat lainnya, Koh Apen, Chang Pe, Jok Wa, Koh Engle, In Chan memulai kembali tradisi sedekah bumi sekaligus membangun tugu yang disebut “Tugu Lengkong” sebagai tanda prosesi sedekah bumi di tahun berikutnya.

“Keberadaan Tugu Lengkong selain sebagai tanda sekaligus menjadi pusat batas teritorial administratif antara Kelurahan Lengkong Wetan dengan Kelurahan Lengkong Karya,”.  Tradisi Sedekah Bumi masyarakat Lengkong adalah tradisi akulturasi tiga budaya, yaitu budaya Tiongkok, budaya Sunda, dan budaya Betawi yang diselenggarakan oleh masyarakat Lengkong.

Apakah ini akan terus berlangsung?

Ataukah tergerus oleh arus modernisasi dan lenyap menghilang? (Abdul Aziz)

Sekapur Sirih Seni Budaya Palang Pintu Betawi



1969358_375472289273963_8826153646686097201_n_1436945933.jpg
Seni budaya palang pintu Betawi saat ini sudah bukan barang baru lagi bagi masyarakat kota Jakarta. Keberadaan grup palang pintu pun ibarat “alang-alang di musim hujan”, banyak sampai tak terhitung jumlahnya. Hampir di setiap kampung ada. Kini setiap perhelatan menggunakan jasa seni budaya palang pintu. Bukan hanya di acara perkawinan saja, tapi hampir di setiap acara menggunakan seni budaya palang pintu. Entah itu acara formal hingga semi formal.


Alhasil, semua acara yang terselenggara di masyarakat kota Jakarta sudah mulai menggunakan seni budaya palang pintu. Seperti sunatan, nujuh bulanan, tabligh akbar sampai mauludan dan masih banyak lagi. Mungkin hanya acara kelahiran dan kematian saja yang tidak memakai seni budaya palang pintu.

Fenomena keberadaannya ibarat seorang pelipur yang sedang “naik daun”, bahwa setiap acara seni budaya palang pintu itu ada.

Namun demikian perlu diketahui bersama, sejak kapan keberadaan seni budaya palang pintu melekat pada masyarakat Betawi?

Sejarah Palang Pintu Betawi

Ketika ditanyakan masalah palang pintu, RM Effendi (81 tahun) sesepuh Betawi Kel. Ulujami, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan menjawab dengan antusias dan penuh semangat walaupun usianya telah senja.

Dikatakannya bahwa palang pintu itu ada sebelum saya lahir tahun 1933 serta bagi orang Betawi yang mampu. Dan waktu itu kalau orang Betawi menikah memakai palang pintu, dalam arti saling menyambut. Sambutannya paling pertama rombongan pengantin laki-laki memberi salam dan rombongan pengantin perempuan menerima salam, lalu ditanya maksud dan tujuannya, dan tolonglah persyaratannya diceritakan. Setelah diceritakan, baru debat pantun, ada ayat, ada adu jurus silat.

“Kemudian dikenal lah seni budaya palang pintu,” tandasnya.


Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kejadian atau peristiwa seni budaya palang pintu tempo dulu persis seperti sekarang, yang membedakan cuma dari segi bahasa saja. Kalau dulu “pyur” bahasa Betawi yang terkenal tegas, lugas, dan vulgar.

“Jadi dulu yang memakai seni budaya palang pintu dalam prosesi pernikahannya adalah orang Betawi yang kaya raya. Sebab perhelatan tersebut memakai berbagai macam perlengkapan alat music, seperti rebana, kemplengan, beduk, dan segala macam. Dan prosesi palang pintu berlangsung setelah pengantin lelaki diarak oleh besan.” jelasnya.

Beliau menambahkan bahwa dahulu hampir palang pintu pengantin lelaki dan palang pintu pengantin perempuan tidak saling kenal. Jadi besambut pantun dan jurus silatnya beneran dan asli. Seperti begini, kita tahu bahwa jagoan di Petukangan Kong Haji Hasbullah dan katakanlah dia pimpinan palang pintu  pengantin lelaki dan Kong Haji Sidik misalnya pimpinan palang pintu pengantin perempuan, mereka saling beradu pantun, besambut jurus silat, dan setelah itu saling berpelukan.

“Dan itu adalah simbol dari sebuah persyaratan prosesi pernikahan adat Betawi, tapi permainannya benar-benar terjadi dalam perkawinan,” tambahnya.

Peran dan Andil Para Jago Silat dalam Prosesi Palang Pintu 

Keberadaan palang pintu dari dahulu tidak terlepas dari peran dan andil para jago silat, hal ini ditegaskan oleh alm H. Machtum (65 th) sesepuh dan tokoh silat Beksi, Rawa Lindung, Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

“Dan terutama silat Beksi yang dari dahulu sudah ada serta guru besar silat Beksi itu banyak, tapi yang menonjol itu ada tiga yaitu Kong Nur, Kong Simin, dan Kong Hasbulloh,” tegasnya.

Mengenai silat Beksi di Petukangan Selatan mulai dikenal dan berkembang sejak tahun 1965 yang pada saat itu penduduk juga masih jarang dan juga ditandai dengan meletusnya G 30 S PKI. Sehingga membuat masyarakat saling mencurigai bahwa jangan-jangan satu sama lain itu terlibat G 30 S PKI. 

Dan bagaimana sikap para jago silat Beksi menghadapi situasi demikian?

Jadi disatukanlah seluruh perguruan silat Beksi yang ada dan didirikanlah PSBKI (Persatuan Silat Beksi Indonesia) pada tahun 1966. Dengan logo kepala garuda dan tokoh yang sangat berpengaruh saat itu adalah alm Dimroh.

“Nah semenjak itulah sebenarnya silat Beksi itu sudah ada dan berkembang,” jelasnya.

Termasuk juga keberadaan seni budaya palang pintu itu sendiri, sebetulnya tahun 1966 sudah ada di Petukangan. Pada tahun 1961, tiga perguruan silat bersatu, yaitu silat Beksi, Kotek, Ronce, dan dinamakanlah PSBKRI (Persatuan Silat Beksi Kotek Ronce Indonesia). Namun karena banyak juga tokoh yang sudah sepuh dan meninggal, maka kembali lagi menjadi PSBKI tahun 1966.

“Jadi kalau masalah palang pintu di Petukangan bukan barang baru, tapi sudah sejak dulu,” ungkapnya.

Beliau menambahkan bahwa seperti misalnya orang Betawi menikah dengan orang Cianjur, mereka tidak mengerti palang pintu. Dibuatlah skenario dengan dikumpukannya 10 orang (5 orang di pihak perempuan dan 5 orang di pihak laki-laki) disanalah “gayung bersambut”. Kalo istilah orang Padang mengatakan “gayung bersambut” dan sebetulnya di masyarakat Padang itu tidak jauh beda dengan Betawi, cuma berbeda bahasa.


Seperti waktu keluarga Haji Imron Cipulir menikah dengan orang Padang yang membawakan acara saya dengan membuat “gayung besambut”. Jadi keluarga Haji Imron pengantin perempuan dan yang besan lelakinya orang. Saya langsung bicara “Ketupat si ayam panggang, makan dodol dari Ciawi – saya lompat dari kota Padang, dapet jodoh orang Betawi”.

“Demikianlah ilustrasi “silang budaya” yang membuat kaya khazanah budaya bangsa,” imbuhnya.

Menurutnya palang pintu di Petukangan tahun 1966 sudah ada dan berkembang hingga tahun 1980 an. Kalau dahulu musik palang pintu itu diiringi dengan musik kendang pencak orang Pondok Pinang, kalau sekarang kan musik gambang kromong.

Misalnya begini, dari pihak pengantin laki-laki “Gua dateng ke sini bukan gedebong yang jatoh disungai, Gua dateng kesinih adalah punya maksud dan tujuan untuk ngerebut tuh perempuan” lantas dijawab ama pihak pengantin perempuan “boleh aja tapi luh langkahin dulu mayat gua”. Tapi akhirnya biar dia jago dia akan mengalah karena dipihak perempuan.

Kalau dahulu orang bawa duit itu seperti jeruk atau seperti apa aja ditaruh di nampan, sekarang tidak lagi dan ditaruh di parsel. Begitu nampan masuk kedalam pintu, orang langsung berebut. Ada sirih dan ada tembakau.

“Jadi istilah orang tempo dulu, bukan masalah berebut itu makanan, tapi supaya anak-anaknya cepet dapat jodoh,” harapnya. (Abdul Aziz

Laman referensi kebudayaan Indonesia. Turut mewujudkan bangsa Indonesia yang cerdas dan berbudaya