Pada tahun 1953, tiga tahun menjelang Pemilu 1955, terjadi kekacauan
di hampir semua wilayah Indonesia dan berdampak pula dengan situasi
keamanan masyarakat Lengkong. Pada masa itu adalah masanya “gerombolan”
atau sebuah pemberontakan dalam bentuk perampokan massal kepada
masyarakat yang dilakukan oleh para “pejuang” dan “pasukan sekutu” yang
menetap dan kecewa terhadap pemerintah saat itu.
Tahun 1960 amil Bosin hijrah ke Kulon Banten untuk memperdalam ilmu
agama Islam di sebuah pesantren terkenal. Pek Chunyo seorang diri
memimpin kegiatan Sedekah Bumi, beliau ditemani sahabat amil Bosin yang
bernama Tirtonadi, seorang tokoh masyarakat Lengkong sampai tahun 1962.
Tahun 1962-1965 pecahlah peristiwa “Gestok”, yang disebut oleh Presiden
Sukarno berarti Gerakan Satu Oktober yang digerakkan langgsung oleh
“PKI” dipimpin DN Aidit. Terjadi kekacauan negeri yang mengakibatkan
kegiatan Sedekah Bumi vakum. Tahun 1965 Pek Chunyo akhirnya meninggal.
Setelah ditinggal amil Bosin ke Kulon Banten untuk belajar agama dan
meninggalnya Pek Chunyo, tradisi Sedekah Bumi masyarakat Lengkong vakum
hingga tahun 2000-an. Tahun 2014 tradisi Sedekah Bumi kembali digelar
oleh masyarakat lengkong yang dipelopori oleh Apen, salah satu keturunan
Pek Chunyo hingga tahun 2015.
Menurut Koh Apen tokoh penggerak sedekah bumi tahun 2009, 2012, 2015
di Lengkong, awal mula sedekah bumi adalah warisan adat istiadat leluhur
Tionghoa yang berbaur dengan kebiasaan masyarakat Betawi di Lengkong,
Serpong, Tangerang Selatan, Banten diselenggarakan tiap tiga tahun
sekali setelah panen.
“Sedekah bumi itu adalah suatu bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat
Tionghoa peranakan dan masyarakat Betawi di Lengkong, Tangerang
Selatan, Banten sehabis panen, dengan menyelenggarakan makan bersama
dari hasil tanaman padi, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan yang telah
ditanam,” ungkapnya (9/7/2015) di kediamannya, Kampung Perigi RT. 018/05
Lengkong Karya, Serpong Utara, Tangerang Selatan, Banten.
Dijelaskannya bahwa sedekah bumi terselenggara setiap tiga tahun
sekali menurut penanggalan Tionghoa, leluhur Keluarga Besar She Ghow.
Sejak tahun 1950-an Pek Chunyo yang merupakan Tionghoa peranakan bersama
dengan amil Bosin dan Tirtonadi dari Betawi mengungkapkan rasa
syukurnya setelah panen dalam bentuk Sedekah Bumi. “Setelah ditinggalkan
oleh ketiga tokoh pencetus Sedekah Bumi tersebut di tahun 1962, tradisi
sedekah bumi vakum,” jelasnya.
Tahun 1963 tradisi sedekah bumi kembali berlangsung yang dipimpin
langsung oleh istri mendiang almarhum Pek Chunyo yang biasa dipanggil
Ny. Kana hingga beliau meninggal tahun 1970. Memasuki tahun 1980, Koh
Apen dari Jakarta hijrah ke Lengkong menemani dan mengurus orang tuanya
She Ghow.
“Beliau selalu berpesan sekaligus memberikan amanat kepada kami bahwa
“wajib” mengurusi makam Keluarga Besar She Ghow dan tradisi sedekah
bumi, hingga akhir hayat,” tegasnya.
Pesan dan amanat tersebut terus terngiang. Pada akhirnya di tahun
1982, kami bersama tokoh masyarakat lainnya, Koh Apen, Chang Pe, Jok Wa,
Koh Engle, In Chan memulai kembali tradisi sedekah bumi sekaligus
membangun tugu yang disebut “Tugu Lengkong” sebagai tanda prosesi
sedekah bumi di tahun berikutnya.
“Keberadaan Tugu Lengkong selain sebagai tanda sekaligus menjadi
pusat batas teritorial administratif antara Kelurahan Lengkong Wetan
dengan Kelurahan Lengkong Karya,”. Tradisi Sedekah Bumi masyarakat
Lengkong adalah tradisi akulturasi tiga budaya, yaitu budaya Tiongkok,
budaya Sunda, dan budaya Betawi yang diselenggarakan oleh masyarakat
Lengkong.
Apakah ini akan terus berlangsung?
Ataukah tergerus oleh arus modernisasi dan lenyap menghilang?
(Abdul Aziz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar