Seni budaya palang pintu Betawi saat
ini sudah bukan barang baru lagi bagi masyarakat kota Jakarta.
Keberadaan grup palang pintu pun ibarat “alang-alang di musim hujan”,
banyak sampai tak terhitung jumlahnya. Hampir di setiap kampung ada.
Kini setiap perhelatan menggunakan jasa seni budaya palang pintu. Bukan
hanya di acara perkawinan saja, tapi hampir di setiap acara menggunakan
seni budaya palang pintu. Entah itu acara formal hingga semi formal.
Alhasil,
semua acara yang terselenggara di masyarakat kota Jakarta sudah mulai
menggunakan seni budaya palang pintu. Seperti sunatan, nujuh bulanan,
tabligh akbar sampai mauludan dan masih banyak lagi. Mungkin hanya acara
kelahiran dan kematian saja yang tidak memakai seni budaya palang
pintu.
Fenomena keberadaannya ibarat seorang pelipur yang sedang “naik daun”, bahwa setiap acara seni budaya palang pintu itu ada.
Namun demikian perlu diketahui bersama, sejak kapan keberadaan seni budaya palang pintu melekat pada masyarakat Betawi?
Sejarah Palang Pintu Betawi
Ketika
ditanyakan masalah palang pintu, RM Effendi (81 tahun) sesepuh Betawi
Kel. Ulujami, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan menjawab dengan
antusias dan penuh semangat walaupun usianya telah senja.
Dikatakannya
bahwa palang pintu itu ada sebelum saya lahir tahun 1933 serta bagi
orang Betawi yang mampu. Dan waktu itu kalau orang Betawi menikah
memakai palang pintu, dalam arti saling menyambut. Sambutannya paling
pertama rombongan pengantin laki-laki memberi salam dan rombongan
pengantin perempuan menerima salam, lalu ditanya maksud dan tujuannya,
dan tolonglah persyaratannya diceritakan. Setelah diceritakan, baru
debat pantun, ada ayat, ada adu jurus silat.
“Kemudian dikenal lah seni budaya palang pintu,” tandasnya.
Lebih
lanjut beliau menjelaskan bahwa kejadian atau peristiwa seni budaya
palang pintu tempo dulu persis seperti sekarang, yang membedakan cuma
dari segi bahasa saja. Kalau dulu “pyur” bahasa Betawi yang terkenal
tegas, lugas, dan vulgar.
“Jadi
dulu yang memakai seni budaya palang pintu dalam prosesi pernikahannya
adalah orang Betawi yang kaya raya. Sebab perhelatan tersebut memakai
berbagai macam perlengkapan alat music, seperti rebana, kemplengan,
beduk, dan segala macam. Dan prosesi palang pintu berlangsung setelah
pengantin lelaki diarak oleh besan.” jelasnya.
Beliau
menambahkan bahwa dahulu hampir palang pintu pengantin lelaki dan
palang pintu pengantin perempuan tidak saling kenal. Jadi besambut
pantun dan jurus silatnya beneran dan asli. Seperti begini, kita tahu
bahwa jagoan di Petukangan Kong Haji Hasbullah dan katakanlah dia
pimpinan palang pintu pengantin lelaki dan Kong Haji Sidik misalnya
pimpinan palang pintu pengantin perempuan, mereka saling beradu pantun,
besambut jurus silat, dan setelah itu saling berpelukan.
“Dan
itu adalah simbol dari sebuah persyaratan prosesi pernikahan adat
Betawi, tapi permainannya benar-benar terjadi dalam perkawinan,”
tambahnya.
Peran dan Andil Para Jago Silat dalam Prosesi Palang Pintu
Keberadaan
palang pintu dari dahulu tidak terlepas dari peran dan andil para jago
silat, hal ini ditegaskan oleh alm H. Machtum (65 th) sesepuh dan tokoh
silat Beksi, Rawa Lindung, Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta
Selatan.
“Dan
terutama silat Beksi yang dari dahulu sudah ada serta guru besar silat
Beksi itu banyak, tapi yang menonjol itu ada tiga yaitu Kong Nur, Kong
Simin, dan Kong Hasbulloh,” tegasnya.
Mengenai
silat Beksi di Petukangan Selatan mulai dikenal dan berkembang sejak
tahun 1965 yang pada saat itu penduduk juga masih jarang dan juga
ditandai dengan meletusnya G 30 S PKI. Sehingga membuat masyarakat
saling mencurigai bahwa jangan-jangan satu sama lain itu terlibat G 30 S
PKI.
Dan bagaimana sikap para jago silat Beksi menghadapi situasi demikian?
Jadi
disatukanlah seluruh perguruan silat Beksi yang ada dan didirikanlah
PSBKI (Persatuan Silat Beksi Indonesia) pada tahun 1966. Dengan logo
kepala garuda dan tokoh yang sangat berpengaruh saat itu adalah alm
Dimroh.
“Nah semenjak itulah sebenarnya silat Beksi itu sudah ada dan berkembang,” jelasnya.
Termasuk
juga keberadaan seni budaya palang pintu itu sendiri, sebetulnya tahun
1966 sudah ada di Petukangan. Pada tahun 1961, tiga perguruan silat
bersatu, yaitu silat Beksi, Kotek, Ronce, dan dinamakanlah PSBKRI
(Persatuan Silat Beksi Kotek Ronce Indonesia). Namun karena banyak juga
tokoh yang sudah sepuh dan meninggal, maka kembali lagi menjadi PSBKI
tahun 1966.
“Jadi kalau masalah palang pintu di Petukangan bukan barang baru, tapi sudah sejak dulu,” ungkapnya.
Beliau
menambahkan bahwa seperti misalnya orang Betawi menikah dengan orang
Cianjur, mereka tidak mengerti palang pintu. Dibuatlah skenario dengan
dikumpukannya 10 orang (5 orang di pihak perempuan dan 5 orang di pihak
laki-laki) disanalah “gayung bersambut”. Kalo istilah orang Padang
mengatakan “gayung bersambut” dan sebetulnya di masyarakat Padang itu
tidak jauh beda dengan Betawi, cuma berbeda bahasa.
Seperti
waktu keluarga Haji Imron Cipulir menikah dengan orang Padang yang
membawakan acara saya dengan membuat “gayung besambut”. Jadi keluarga
Haji Imron pengantin perempuan dan yang besan lelakinya orang. Saya
langsung bicara “Ketupat si ayam panggang, makan dodol dari Ciawi – saya
lompat dari kota Padang, dapet jodoh orang Betawi”.
“Demikianlah ilustrasi “silang budaya” yang membuat kaya khazanah budaya bangsa,” imbuhnya.
Menurutnya
palang pintu di Petukangan tahun 1966 sudah ada dan berkembang hingga
tahun 1980 an. Kalau dahulu musik palang pintu itu diiringi dengan musik
kendang pencak orang Pondok Pinang, kalau sekarang kan musik gambang
kromong.
Misalnya
begini, dari pihak pengantin laki-laki “Gua dateng ke sini bukan
gedebong yang jatoh disungai, Gua dateng kesinih adalah punya maksud dan
tujuan untuk ngerebut tuh perempuan” lantas dijawab ama pihak pengantin
perempuan “boleh aja tapi luh langkahin dulu mayat gua”. Tapi akhirnya
biar dia jago dia akan mengalah karena dipihak perempuan.
Kalau
dahulu orang bawa duit itu seperti jeruk atau seperti apa aja ditaruh
di nampan, sekarang tidak lagi dan ditaruh di parsel. Begitu nampan
masuk kedalam pintu, orang langsung berebut. Ada sirih dan ada tembakau.
“Jadi istilah orang tempo dulu, bukan masalah berebut itu makanan, tapi supaya anak-anaknya cepet dapat jodoh,” harapnya. (Abdul Aziz)
Laman referensi kebudayaan Indonesia. Turut mewujudkan bangsa Indonesia yang cerdas dan berbudaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar