Kategori: Pertunjukan · Ditulis oleh Dewi Fadhilah Soemanagara · Dipublish Juli 29, 2015
Seni budaya palang pintu Betawi saat ini sudah bukan
barang baru lagi bagi masyarakat kota Jakarta. Keberadaan grup palang
pintu pun ibarat “alang-alang di musim hujan”, banyak sampai tak
terhitung jumlahnya. Hampir di setiap kampung ada. Kini setiap
perhelatan menggunakan jasa seni budaya palang pintu. Bukan hanya di
acara perkawinan saja, tapi hampir di setiap acara menggunakan seni
budaya palang pintu. Entah itu acara formal hingga semi formal.
Alhasil, semua acara yang terselenggara di masyarakat kota Jakarta
sudah mulai menggunakan seni budaya palang pintu. Seperti sunatan, nujuh
bulanan, tabligh akbar sampai mauludan dan masih banyak lagi. Mungkin
hanya acara kelahiran dan kematian saja yang tidak memakai seni budaya
palang pintu.
Fenomena keberadaannya ibarat seorang pelipur yang sedang “naik daun”, bahwa setiap acara seni budaya palang pintu itu ada.
Namun demikian perlu diketahui bersama, sejak kapan keberadaan seni budaya palang pintu melekat pada masyarakat Betawi?
Sejarah Palang Pintu Betawi
Ketika ditanyakan masalah palang pintu, RM Effendi (81 tahun) sesepuh
Betawi Kel. Ulujami, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan menjawab dengan
antusias dan penuh semangat walaupun usianya telah senja.
Dikatakannya bahwa palang pintu itu ada sebelum saya lahir tahun 1933
serta bagi orang Betawi yang mampu. Dan waktu itu kalau orang Betawi
menikah memakai palang pintu, dalam arti saling menyambut. Sambutannya
paling pertama rombongan pengantin laki-laki memberi salam dan rombongan
pengantin perempuan menerima salam, lalu ditanya maksud dan tujuannya,
dan tolonglah persyaratannya diceritakan. Setelah diceritakan, baru
debat pantun, ada ayat, ada adu jurus silat.
“Kemudian dikenal lah seni budaya palang pintu,” tandasnya.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kejadian atau peristiwa seni
budaya palang pintu tempo dulu persis seperti sekarang, yang membedakan
cuma dari segi bahasa saja. Kalau dulu “pyur” bahasa Betawi yang
terkenal tegas, lugas, dan vulgar.
“Jadi dulu yang memakai seni budaya palang pintu dalam prosesi
pernikahannya adalah orang Betawi yang kaya raya. Sebab perhelatan
tersebut memakai berbagai macam perlengkapan alat music, seperti rebana,
kemplengan, beduk, dan segala macam. Dan prosesi palang pintu
berlangsung setelah pengantin lelaki diarak oleh besan.” jelasnya.
Beliau menambahkan bahwa dahulu hampir palang pintu pengantin lelaki
dan palang pintu pengantin perempuan tidak saling kenal. Jadi besambut
pantun dan jurus silatnya beneran dan asli. Seperti begini, kita tahu
bahwa jagoan di Petukangan Kong Haji Hasbullah dan katakanlah dia
pimpinan palang pintu pengantin lelaki dan Kong Haji Sidik misalnya
pimpinan palang pintu pengantin perempuan, mereka saling beradu pantun,
besambut jurus silat, dan setelah itu saling berpelukan.
“Dan itu adalah simbol dari sebuah persyaratan prosesi pernikahan
adat Betawi, tapi permainannya benar-benar terjadi dalam perkawinan,”
tambahnya.
Peran dan Andil Para Jago Silat dalam Prosesi Palang Pintu
Keberadaan palang pintu dari dahulu tidak terlepas dari peran dan
andil para jago silat, hal ini ditegaskan oleh alm H. Machtum (65 th)
sesepuh dan tokoh silat Beksi, Rawa Lindung, Petukangan Selatan,
Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
“Dan terutama silat Beksi yang dari dahulu sudah ada serta guru besar
silat Beksi itu banyak, tapi yang menonjol itu ada tiga yaitu Kong Nur,
Kong Simin, dan Kong Hasbulloh,” tegasnya.
Mengenai silat Beksi di Petukangan Selatan mulai dikenal dan
berkembang sejak tahun 1965 yang pada saat itu penduduk juga masih
jarang dan juga ditandai dengan meletusnya G 30 S PKI. Sehingga membuat
masyarakat saling mencurigai bahwa jangan-jangan satu sama lain itu
terlibat G 30 S PKI.
Dan bagaimana sikap para jago silat Beksi menghadapi situasi demikian?
Jadi disatukanlah seluruh perguruan silat Beksi yang ada dan
didirikanlah PSBKI (Persatuan Silat Beksi Indonesia) pada tahun 1966.
Dengan logo kepala garuda dan tokoh yang sangat berpengaruh saat itu
adalah alm Dimroh.
“Nah semenjak itulah sebenarnya silat Beksi itu sudah ada dan berkembang,” jelasnya.
Termasuk juga keberadaan seni budaya palang pintu itu sendiri,
sebetulnya tahun 1966 sudah ada di Petukangan. Pada tahun 1961, tiga
perguruan silat bersatu, yaitu silat Beksi, Kotek, Ronce, dan
dinamakanlah PSBKRI (Persatuan Silat Beksi Kotek Ronce Indonesia). Namun
karena banyak juga tokoh yang sudah sepuh dan meninggal, maka kembali
lagi menjadi PSBKI tahun 1966.
“Jadi kalau masalah palang pintu di Petukangan bukan barang baru, tapi sudah sejak dulu,” ungkapnya.
Beliau menambahkan bahwa seperti misalnya orang Betawi menikah dengan
orang Cianjur, mereka tidak mengerti palang pintu. Dibuatlah skenario
dengan dikumpukannya 10 orang (5 orang di pihak perempuan dan 5 orang di
pihak laki-laki) disanalah “gayung bersambut”. Kalo istilah orang
Padang mengatakan “gayung bersambut” dan sebetulnya di masyarakat Padang
itu tidak jauh beda dengan Betawi, cuma berbeda bahasa.
Seperti waktu keluarga Haji Imron Cipulir menikah dengan orang Padang
yang membawakan acara saya dengan membuat “gayung besambut”. Jadi
keluarga Haji Imron pengantin perempuan dan yang besan lelakinya orang.
Saya langsung bicara “Ketupat si ayam panggang, makan dodol dari Ciawi –
saya lompat dari kota Padang, dapet jodoh orang Betawi”.
“Demikianlah ilustrasi “silang budaya” yang membuat kaya khazanah budaya bangsa,” imbuhnya.
Menurutnya palang pintu di Petukangan tahun 1966 sudah ada dan
berkembang hingga tahun 1980 an. Kalau dahulu musik palang pintu itu
diiringi dengan musik kendang pencak orang Pondok Pinang, kalau sekarang
kan musik gambang kromong.
Misalnya begini, dari pihak pengantin laki-laki “Gua dateng ke sini
bukan gedebong yang jatoh disungai, Gua dateng kesinih adalah punya
maksud dan tujuan untuk ngerebut tuh perempuan” lantas dijawab ama pihak
pengantin perempuan “boleh aja tapi luh langkahin dulu mayat gua”. Tapi
akhirnya biar dia jago dia akan mengalah karena dipihak perempuan.
Kalau dahulu orang bawa duit itu seperti jeruk atau seperti apa aja
ditaruh di nampan, sekarang tidak lagi dan ditaruh di parsel. Begitu
nampan masuk kedalam pintu, orang langsung berebut. Ada sirih dan ada
tembakau.
“Jadi istilah orang tempo dulu, bukan masalah berebut itu makanan, tapi supaya anak-anaknya cepet dapat jodoh,” harapnya. (Abdul Aziz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar