Sabtu, 23 Januari 2016

RA Kartini "guratan surat"



Selama ini bila RA Kartini dibicarakan, selalu dilihatnya sebagai sosok yang utuh dan transparan. Atau ia sebagai feminis dan sebagai pendekar emansipasi perempuan atau sebagai pembela rakyat atau sebagai pejuang anti-kolonial. Tapi sebelum membicarakan seseorang (dalam hal ini RA Kartini) dalam hubungannya dengan yang lain (baik dalam arti Eropa maupun seseorang lain yang secara langsung atau tidak mewakili Eropa). Hal tersebut sangatlah penting dalam membicarakan RA Kartini, karena dalam surat-suratnya bukan saja berisi pembicaraan mengenai aku dan engkau, tapi juga kepada seorang engkau yang senantiasa harus ditafsirkan dan dinegosiasi. RA Kartini adalah contoh bagaimana aku selalu merupakan subyek dalam proses. Sementara bila ditilik dengan seksama, tampaklah jelas bahwa dalam surat-surat RA Kartini kepada Stella Zeehandelar, seorang feminis dan sosialis Belanda berdarah Yahudi, jurnalis majalah mingguan Belanda untuk perempuan-perempuan muda progresif. De Hollandsche Lelie yang mempunyai hubungan kuat dengan gerakan sosialis ternama di Belanda, isi suratnya : “Panggil Saja Aku Kartini – Itu Namaku.” Disini RA Kartini menandaskan ke – aku – annya, sesuatu pada saat yang sama mengukuhkan identitas / perbedaannya, tapi melalui tatapan dan bahasa yang lain,”Yang Bukan Aku.” Hal tersebut bisa jadi semacam sarkasme, bisa murni sebuah kesatuan terhadap seorang asing yang baru saja RA Kartini kenal (apalagi dalam surat pertama), bisa juga semacam pengakuan atas inferioritas. Hanya, mengingat mutu pikiran dan sikap independen RA Kartini, rasanya lebih masuk akal apabila merupakan separuh sarkasme dibubuhi kehendak menyesuaikan diri agar lebih mudah dipahami orang di Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar