Selama ini bila RA Kartini
dibicarakan, selalu dilihatnya sebagai sosok yang utuh dan transparan.
Atau ia sebagai feminis dan sebagai pendekar emansipasi perempuan atau
sebagai pembela rakyat atau sebagai pejuang anti-kolonial. Tapi sebelum
membicarakan seseorang (dalam hal ini RA Kartini) dalam hubungannya
dengan yang lain (baik dalam arti Eropa maupun seseorang lain yang
secara langsung atau tidak mewakili Eropa). Hal tersebut sangatlah
penting dalam membicarakan RA Kartini,
karena dalam surat-suratnya bukan saja berisi pembicaraan mengenai aku
dan engkau, tapi juga kepada seorang engkau yang senantiasa harus
ditafsirkan dan dinegosiasi. RA Kartini adalah contoh bagaimana aku
selalu merupakan subyek dalam proses. Sementara bila ditilik dengan
seksama, tampaklah jelas bahwa dalam surat-surat RA Kartini kepada
Stella Zeehandelar, seorang feminis dan sosialis Belanda berdarah
Yahudi, jurnalis majalah mingguan Belanda untuk perempuan-perempuan muda
progresif. De Hollandsche Lelie yang mempunyai hubungan kuat dengan
gerakan sosialis ternama di Belanda, isi suratnya : “Panggil Saja Aku
Kartini – Itu Namaku.” Disini RA Kartini menandaskan ke – aku – annya,
sesuatu pada saat yang sama mengukuhkan identitas / perbedaannya, tapi
melalui tatapan dan bahasa yang lain,”Yang Bukan Aku.” Hal tersebut bisa
jadi semacam sarkasme, bisa murni sebuah kesatuan terhadap seorang
asing yang baru saja RA Kartini kenal (apalagi dalam surat pertama),
bisa juga semacam pengakuan atas inferioritas. Hanya, mengingat mutu
pikiran dan sikap independen RA Kartini, rasanya lebih masuk akal
apabila merupakan separuh sarkasme dibubuhi kehendak menyesuaikan diri
agar lebih mudah dipahami orang di Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar