Wawancara
dengan Bang Suaeb Mahbub kelahiran Marunda Kepu, 02 Oktober 1975 yang
beralamat di Kampung Marunda Kepu RT. 008/07 Marunda, Jakarta Utara.
Keseharian beliau adalah tokoh pemuda nelayan Marunda dan juga sebagai
pemuda pelopor kebaharian Kemenegpora RI, ditemui pada saat prosesi
sedekah laut “nyadran” masyarakat nelayan Marunda Kepu, Minggu, 09
Agustus 2015.
Pengertian “Nyadran” Bagi Masyarakat Nelayan Marunda Kepu, Jakarta Utara
Bang
Suaeb Mahbub, Koordinator Nelayan Marunda Kepu mengatakan bahwa nelayan
biasa melaksanakan kegiatan melaut itu harus ada “basa-basi” kepada
laut. Artinya Allah SWT menciptakan dunia ini dengan berbagai macam
isinya, termasuk manusia di darat, makhluk hidup yang di laut,
makhluk-makhluk lain yang tidak keliatan/ghoib itu ada.
Jadi paling tidak kita sebagai manusia telah diajarkan tata krama, mungkin tata krama kita (nelayan) seperti ini.
Sehingga
mungkin saja kalau kita mau masuk ke kampung/wilayah orang itu ada
Presiden, ada Menteri, ada Gubernur, ada Bupati, ada Walikota, ada
Camat, ada Lurah, ada RT, ada RW. Paling tidak kita harus melewati dan
bahkan menghormati pos-pos tertentu.
“Dan
itulah barangkali bahwa setiap kita mau jalan atau keluar kampung harus
menghormati semua tetua kampung yang akan ditinggalkan, yaitu
lingkungan sekitar kita dengan bebacaan tahlil, takbir, tahmid, memohon
restu,” kata Suaeb Mahbub.
Nyadran
itu berasal dari kata nazar dan nazar itu adalah suatu janji. Janji
adalah hutang dan hutang itu harus dibayar. Jika nelayan itu berkah,
mereka mempunyai kewajiban menyelenggarakan sedekah laut atau biasa
disebut nadran dan nyadran menurut dialek orang Betawi.
Nyadran
adalah suatu tradisi budaya nelayan dimana setiap pantai memiliki
kearifan lokal yang biasanya dihormati pada setiap tempat penangkapan
ikan.
“Jadi
persoalannya disini kita melakukan adat dan tradisi nyadran yang
merupakan sebuah kewajiban nelayan yang dilakukan sebelum memulai
menangkap ikan,” jelasnya.
Menurutnya,
Allah SWT menciptakan alam ini dengan berbagai macam makhluk yang nyata
maupun yang tidak kelihatan atau yang disebut makhluk alam ghoib. Di
setiap sudut, ruang Allah menciptakan makhluk-makhluk dengan jumlah
jutaan bahkan trilyunan. Wallahua’lam bisshowab, hanya Allah yang
mengetahui. Jadi nyadran ini merupakan adat dan kebiasaan atau biasa
disebut tata krama.
“Seperti
itulah adat tradisi dan tata krama nelayan di Betawi yang sangat
menghargai dan menghormati nilai-nilai budaya kearifan lokal,”
tandasnya.
Kondisi Masyarakat Nelayan Marunda Kepu
Masyarakat
nelayan Marunda Kepu terdiri dari 2 (dua) Rukun Tetangga (RT) yakni RT
008 berjumlah 130 Kepala Keluarga (KK) dan Rukun Tetangga 009 berjumlah
60 Kepala Keluarga (KK) dan memang kondisi tersebut sudah harus
dilakukan pemekaran wilayah. Namun masyarakat tampaknya belum siap dan
merasa keberatan karena akan kesulitan didalam kepengurusan
administrasinya nanti. Oleh karena itu, kondisi demikian tetap
dipertahankan masyarakat walaupun telah melebihi kapasitas jumlah
penduduk.
“Dan itu bukan karena tidak patuh dengan peraturan,” ungkap Bang Suaeb.
Lebih
lanjut beliau menjelaskan bahwa pekerjaan masyarakat nelayan Marunda
Kepu selain menjadi nelayan ada juga yang menjadi petani tambak, supir,
petugas keamanan, dan pekerja pabrik.
Selain
itu, ungkap Bang Mahbub bahwa wilayah Marunda Kepu tempo dulu memang
terdiri dari empang-empang. Masyarakatnya banyak yang melaut dan
kemudian banyak juga yang menjadi petani tadah hujan. Jadi masyarakatnya
dulu sangat beragam, namun tetap hidup dari hasil laut.
Jika
dilihat melalui ilmu sosial bahwa nelayan ini pada posisi strata empat,
artinya strata yang dibawah standar atau pra sejahtera penghidupannya.
“Karena nelayan itu kadang berkah, kadang tidak,” tegasnya.
Harapan Masyarakat Nelayan Marunda Kepu
Ditambahkannya
bahwa masyarakat nelayan Marunda Kepu adalah rata-rata sebagai nelayan
tangkap, bila kita lihat dari hasil tangkapannya yaitu rajungannya,
kepitingnya, ikan kakapnya. Oleh karena itu, diharapkan masyarakat
sekitar Marunda agar menjaga lingkungan laut secara baik dan menekan
pencemaran laut.
Dan
juga terhadap pemerintah, nelayan Marunda juga berharap UU Kelautan
dapat ditinjau kembali penggunaannya, karena selama ini UU Kelautan
tersebut terasa memberatkan para nelayan. Seperti misalnya bahwa nelayan
tidak boleh menangkap kepiting dan rajungan yang sedang bertelur,
dengan alasan terkait pengembang biakkan. Padahal hal itu sangatlah baik
dan tidak memberatkan nelayan, apabila terkondisikan dengan baik dalam
pelaksanaannya. Seperti harus digalakkan sosialisasi dan pembinaan dalam
hal pengembangbiakkan hewan-hewan laut. (Abdul Aziz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar