Pementasan Drama Kolosal Perjuangan “Patung Pak Tani”
Salah Satu Upaya Bangkitkan Rasa Nasionalisme Sebagai Anak Bangsa
Suatu pagi disebuah desa yang damai,
tampak para petani seperti hari-hari sebelumnya mulai bergegas menuju
pengidupannya. Hamparan sawah, pegunungan biru, berselimut kabut dikejauhan
mengiringi mereka bekerja menggarap sawah. Ada yang mencangkul,
menyabit rumput, membersihkan tegalan, menebar benih padi, semua terasa
aman tenteram “gemah ripah loh jinawi”.
Suatu
saat, ketenangan mereka terusik oleh kehadiran para penjajah yang
membawa tahanan pribumi. Semua ketakutan, berusaha mencari perlindungan
dibawah todongan senjata. Tak ada yang berani melawan, apalagi
membebaskan para tawanan, suasana berubah mencekam.
Dari
kejauhan terdengar teriakan-teriakan. Rupanya para pejuang pembebasan
tahanan yang dibawa. Para petani mencari perlindungan, bergabung dengan
para pejuang sampai akhirnya terjadilah bentrokan. Banyak korban baik di
pihak pejuang, petani, maupun penjajah. Tapi para pejuang berhasil
memukul mundur para penjajah. Tahanan dibebaskan, petani dan pejuang
menolong para korban yang terluka tembak. Terasa kesedihan.
Ternyata
penjajah bukannya kalah, tapi kembali membawa pasukan yang lebih banyak
lagi. Peperangan sengit pun terjadi. Dari sekumpulan para pejuang,
tampak seorang Ibu dan pemuda mencari perlindungan. Sang Ibu memberi
semangat pada anaknya agar terus berjuang melawan para penjajah.
Demikianlah penggalan narasi drama kolosal perjuangan tentang “Patung Pak Tani” karya/sutradara Rik A Sakri dengan art/property
Pauzi/Aziz yang dipentaskan pada Apel HUT RI ke-70 oleh siswa/i SMU 74
binaan Kodim dan Dewan Guru SMU 74 Jakarta Selatan, di lapangan Kantor
Walikota Administrasi Jakarta Selatan, Jl. Prapanca Raya No. 9,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Menurut
Rik A Sakri, pementasan ini adalah atas prakarsa Kodim dan Dewan Guru
SMA 74 Jakarta Selatan yang merupakan salah satu “menjalankan” pesan
para pendahulu kita adalah untuk menjaga “ibu pertiwi” agar jangan
sampai kita terjajah lagi.
“Maksudnya kita harus punya rasa nasionalisme yang tinggi sebagai bangsa Indonesia,” jelasnya.
Seperti
misalnya kita merawat dan memelihara kelestarian
peninggalan-peninggalan para pejuang. Dengan demikian kita sudah berbuat
sesuatu bagi negeri ini. Jangan berpikir apa yang kita dapat dari
negeri ini, tapi apa yang bisa kita berikan untuk negeri ini.
“Kalau
korupsi itu kebalikannya, justru itu mementingkan diri sendiri, tidak
ada kebersamaan, tidak ada rasa nasionalisme,” ungkapnya. (ziz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar